REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO--Perkataan Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan, yang menganggap bencana gempa dan tsunami yang menghantam negaranya Jumat pekan lalu sebagai krisis paling berat setelah Perang Dunia II tampak benar adanya. Itu bila dilihat dari dampak kerusakan yang ditimbulkannya.
Banyak kota dan desa luluh lantah diterjang tsunami di tiga wilayah prefektorat, Fukushima, Miyagi, dan Iwate. Ketiga prefektorat tersebut memang letaknya terdekat dari episentrum gempa berkekuatan 9,0 pada skala Richter itu.
Ditambah lagi ancaman bahaya radiasi nuklir akibat meledaknya sejumlah reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima. Akibatnya, ratusan ribu warga Jepang kini harus tinggal di pengungsian. ''Kami melihat ada mobil yang menyangkut di atap rumah yang telah hancur. Banyak juga kapal-kapal besar terbawa tsunami hingga ke dalam kota. Dan sisa material rumah tampak memenuhi jalan-jalan kota,'' ujar Direktur Dompet Dhuafa Jepang, Kresna Hadi Budianto, menceritakan pemandangan di Kota Sendai, Miyagi, kepada Republika, dua hari lalu.
Ahad (13/3), Hadi bersama rombongan Dompet Dhuafa berhasil menembus Sendai dengan menggunakan perjalanan darat. Mereka datang ke lokasi bencana yang paling parah untuk memberikan bantuan bagi warga negara Indonesia (WNI). Ada ratusan WNI yang berada di Sendai yang di antaranya bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) di kapal-kapal nelayan Jepang.
Sejauh mata memandang, Hadi hanya menyaksikan kerusakan di kota yang terletak persis di tepi pantai itu. Sendai seakan menjadi kota mati. Padahal, dia menjelaskan, Sendai semula adalah kota yang cukup sibuk. Setiap hari, ribuan kapal termasuk kapal nelayan bersandar di dermaga pelabuhan.
Aktivitas pabrik pun menghiasi denyut kehidupan kota yang dijejali ribuan pekerja. ''Di antara para pekerja di kapal ikan banyak terdapat warga negara Indonesia. Kami mendapat kabar jika saat kejadian mereka masih berada di kapal,'' jelasnya.
Namun sesampainya di sana, tim Dompet Dhuafa mendapatkan kabar bahwa seratus lebih WNI yang berada di Sendai sudah dipindahkan dari selter-selter pengungsi ke Tokyo oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Sementara, nasib WNI yang bekerja sebagai AKB belum terdengar kabarnya. Kabarnya ada puluhan WNI yang bekerja sebagai ABK kapal nelayan.
Hanya saja, WNI yang telah terkonfirmasi bekerja sebagai ABK baru empat orang, yaitu Sunardi (27 tahun), Tonny Setiawan (30), Rudi Hartono (30), dan Arifin Siregar. Mereka bekerja di kapal Kuni Maru 3 yang bermarkas di Sukume. Saat gelombang tsunami datang, kapal sedang bersandar di Pelabuhan Siogama, Miyagi. ''Kita belum bisa pastikan keberadaan mereka,'' ujar Hadi.
Saat berada di Sendai, Hadi sempat menyaksikan sejumlah warga mencari air minum di sungai yang melintasi kota. Rasa haus memaksa mereka untuk mengumpulkan air sungai yang sudah berubah warnanya menjadi keruh. ''Mereka sangat sulit air. Karena itu ada sejumlah warga yang berbondong ke sungai untuk mendapatkan sumber air,'' ujarnya miris.
Tentu, pemandangan itu tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Hadi mengingat Jepang sebagai salah satu negara modern dan termakmur di dunia ini. Mendekati lokasi pengungsian, tim Dompet Dhuafa mendapati kondisi pengungsi yang serba terbatas. Mereka mendapatkan jatah air minum dan makanan yang sangat sedikit. Hanya anak-anak dan ibu hamil yang diprioritaskan. Hadi hanya bisa melukiskannya dengan kata, ''Memprihatinkan.''
Alhasil, misi penyelamatan dan bantuan bagi WNI ditunda sementara. Sebagai gantinya, misi dialihkan bagi warga Sendai yang berada di pengungsian. Seluruh barang yang dimuat di kendaraan roda empat milik Dompet Dhuafa segera dibagikan kepada pengungsi.
Makanan, alat pembersih tubuh, bahan bakar, serta generator listrik, menjadi asa yang diberi oleh kelompok ralawan asal Indonesia itu kepada pengungsi. ''Kami harap itu dapat meringankan beban mereka,'' ungkap Krisna.
Misi kemanusiaan yang sama juga ditempuh oleh tim evakuasi KBRI. KBRI tidak hanya memberi uluran bagi WNI tapi juga warga negara asing (WNA). Saat menembus Fukushima, tim KBRI mendapati enam orang asal Malaysia, Laos, dan Nepal. Keterbatasan muatan kendaraan tidak jadi alasan untuk mengabaikan bantuan kemanusiaan.
Keenam WNA itu ikut dievakuasi bersama WNI ke wilayah aman. Sebelumnya, tim evakuasi KBRI mendapati keenam WNA terjebak di daerah yang hanya berjarak 70 kilometer dari wilayah ledakan PLTN Fukushima. ''Ada enam WNA yang ikut kami evakuasi dengan alasan kemanusiaan,'' kata Duta Besar Republik Indonesia untuk Jepang, Muhammad Lutfi.