REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO--Satu per satu, reaktor Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima (Daiichi) Jepang, meledak. Tepatnya, tiga reaktor meledak dan satu terbakar, pasca diguncang gempa bumi 9,0 pada skala Richter (SR) dan terjangan gelombang tsunami setinggi 10 meter yang melanda kawasan pesisir timur laut Jepang, Jumat (11/3).
Ancaman radiasi menghantui kawasan sekitar reaktor. Jika sebelumnya zona radiasi sejauh 20 kilometer, kemarin ditingkatkan menjadi 30 kilometer. Bahkan, hembusan angin diperkirakan akan membawa radiasi itu sejauh 240 kilometer menuju ibu kota Jepang, Tokyo.
Bagaimana dengan kabar bahwa radiasi itu bisa mencapai kawasan Indonesia? Pakar nuklir Insitut Teknologi Bandung (ITB), Prof Zaki Su’ud, membantahnya. Bahkan, Kepala Biro Kehumasan dan Hukum Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Ferhat Azis, menganggap pesan singkat (SMS) tentang ancaman radiasi ke wilayah Indonesia itu hanya kabar burung alias hoax.
Prof Zaki Suud, Pakar Nuklir ITB
Zona radiasi ledakan PLTN Fukushima dari 20 menjadi 30 kilometer. Apakah pertanda radiasi telah menyebar?
Yang jelas telah terjadi radiasi. Radiasi itu disengajakan untuk mencegah tekanan di bejana. Dan, kini ada cadangan radiasi yang masih terkungkung. Inilah mengapa zona diperluas untuk mencegah dampak dari dikeluarkannya sisa radiasi. Tetapi secara kuantitas tidak akan sampai ke Indonesia.
Apa sebenarnya yang menyebabkan ledakan di reaktor nuklir di Fukushima, Jepang?
Dari keterangan dan peberitaan resmi Jepang, diketahui jika penyebab ledakan karena pelepasan gas hidrogen yang bercampur dengan udara dan menimbulkan ledakan. Pelepasan hidrogen sengaja dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam bejana reaktor. Dalam ledakan ini memang menimbulkan radiasi, tapi tidak sebesar tragedi nuklir di Chernobyl (1986).
Gempa Jepang berkekuatan 9,0 SR. PLTN-nya sendiri tahan pada berapa SR?
Bisa untuk 8,5 SR. Itu karena gempa yang tercatat di sana itu sekitar 8,3 SR. Dan, daerah itu sebenarnya bukan yang paling utama rawan gempa. Jadi, memang ini benar-benar di luar dugaan.
Tapi kalau skenarionya sesuai, seperti yang di Kobe (Jepang), itu gempanya 7,5 SR dan tidak ada kerusakan apa-apa. Namun, kejadian Fukushima ini memang luar biasa.
Bagaimana mendeteksi potensi radiasi?
Radiasi tidak bisa dideteksi dengan kasat mata. Perlu detektor nuklir untuk mengetahuinya. Pemerintah Jepang pastinya telah mengukur dampak dari kejadian di Fukushima dengan menetapkan zona bahaya 30 kilometer.
Dampak bagi orang yang terkena radiasi?
Dampaknya sangat terasa bila terkena. Umumnya dampak itu bisa langsung dirasakan secara fisik. Bagi yang akut bisa menimbulkan dampak diare, mual hingga kanker.
Pemerintah Jepang memperpanjang zona radiasi dari 20 menjadi 30 kilometer, apakah ini tanda radiasi telah menyebar?
Yang jelas telah terjadi radiasi. Radiasi itu disengajakan untuk mencegah tekanan di bejana. Dan, kini ada cadangan radiasi yang masih terkungkung. Inilah mengapa zona diperluas untuk mencegah dampak dari dikeluarkannya sisa radiasi.
Bagaimana langkah mengatasi radiasi nuklir?
Radiasi yang keluar saat ini belum terlalu besar, tapi daerah di sekitarnya tetap harus diperiksa. Dalam radius 20 kilometer harus dikosongkan. Kalau ternyata ada penyebaran (radiasi), pemerintah Jepang harus langsung bergerak sebagai langkah antisipasi.
Akan ada pengaruhnya bagi kawasan Indonesia?
Dari sisi kuantitas, sejauh ini tidak ada pengaruh yang bisa sampai sini (Indonesia).
Kapan radiasi hilang? Butuh berapa lama?
Radiasi itu, semakin lama menyebar, semakin mengecil. Mekanisme dia hilang paling cepat kalau ada hujan sehingga terbawa ke tanah. Namun, kalau radiasinya cukup tinggi, dia harus di dekontaminasi.
Bagaimana dengan informasi mengenai hujan asam di Jepang?
Kemungkinan besar tidak ada hujan asam, karena rasanya kurang relevan. Hujan asam itu (terjadi) di dekat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kalau di PLTN kemungkinannya agak kecil. Pada nuklir, yang harus diwaspadai itu radiasinya.
Apa hikmah di balik peristiwa ledakan PLTN itu bagi masa depan penggunaan teknologi nuklir?
Menjadi suatu tantangan. Ini accident luar biasa. Terjadi gempa besar, tsunami, lalu banyak kecelakaan. Sebetulnya sistem sudah berjalan, reaktor dimatikan, tinggal sisa panas yang hanya 1-2 persen.
Tapi, ternyata pengangkut panas yang kecil itu failed (gagal). Inilah pemicu utamanya. Karena itu, ke depan, sistem passive decay removal (pembuangan panas) menjadi krusial untuk diterapkan, termasuk pada rencana proyek reaktor nuklir di Indonesia, agar jangan mengulangi kesalahan dan menjadi lebih aman.
Kalau reaktor nuklir itu mengadopsi sistem passive decay removal, accident ini tidak perlu muncul. Begitu dia shut down, sistem yang lain mati, secara alamiah akan dibuang panasnya. Itu yang kebetulan tidak ada. Jadi, dugaan saya, sistem ini akan menjadi standar baru.