Kamis 17 Mar 2011 09:30 WIB
Trending: Kisah Penyelamatan WNI di Negeri Sakura (Habis)

Sulit Cari Makan dan Menghadapi Dinginnya Hujan Salju

Rep: M Hafil/co3/ Red: Stevy Maradona
Sebuah elabuhan di Prefektur Miyagi, Jepang, porak-poranda setelah diguncang gempa dan diterjang tsunami, Jumat (12/3/2011)
Foto: AP
Sebuah elabuhan di Prefektur Miyagi, Jepang, porak-poranda setelah diguncang gempa dan diterjang tsunami, Jumat (12/3/2011)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Gempa yang mengguncang Jepang akhir pekan lalu bisa jadi akan menjadi kenangan tak terlupakan seumur hidup bagi Hengki Rotinsulu (40 tahun) dan keluarganya. Hengki yang sedang menjadi mahasiswa doktoral jurusan perikanan dan kelautan di Tohoku Pharmaceutical University, Sendai, Prefektorat Miyagi, ikut merasakan dahsyatnya guncangan gempa berkekuatan 9,0 pada skala Richter.

Siang saat kejadian, Hengki sedang berada di laboratorium fakultasnya yang terletak di lantai 6. Istrinya, Defny Wewengkang (38), yang berkuliah di jurusan dan kampus yang sama, juga berada di lantai tersebut. Tiba-tiba, gempa terhebat dalam kurun 140 tahun terakhir di Jepang itu, datang.

Ruangan terguncang. Hengki, istrinya, dan mahasiswa lain bergegas meninggalkan laboratorium. Lift otomatis mati begitu gempa tiba. Mereka lalu menuju lantai dasar dengan menggunakan tangga. ''Saya dan beberapa orang sempat terjatuh dan terpental di tangga karena kuatnya gempa,'' ujar Hengki ketika mengisahkan kembali kejadian itu setibanya di Jakarta, Selasa (15/3) petang.

Gempa itu rupanya terasa cukup lama. Setibanya di pelataran kampus, Hengki masih sempat melihat jalanan dan mobil bergoyang seperti kain yang dikibaskan. Suasananya begitu menakutkan. Bahkan, orang berdiri pun bisa jatuh terpental.

Begitu gempa reda, Hengki dan Defny bergegas menjemput kedua anaknya yang sedang bersekolah. Alhamdulillah, mereka selamat. Pemerintah Jepang mewajibkan semua warga berkumpul di tempat pengungsian usai gempa tersebut. Hengki lalu segera mengambil barang seperlunya di rumah mereka yang berada di distrik Komatsusima, Sendai.

Dia memutuskan untuk tinggal di pelataran kampusnya yang dirasakan cukup aman. Kampusnya yang berjarak 14 kilometer dari bibir pantai juga aman dari terjangan tsunami dan gempa susulan yang hampir setiap jam terasakan. ''Saya merasakan seolah-olah Sendai itu seperti dikepung oleh gempa yang tak kunjung berhenti,'' ujarnya.

Meski tak tersentuh tsunami, keluarga Hengki tak berarti luput dari kesulitan lainnya pasca-gempa. Bahan makanan menjadi sulit diperoleh karena kota porak-poranda. Selama dua hari sejak gempa pertama, dia dan keluarganya tak mendapatkan nasi. Mereka terpaksa makan panganan instan seadanya yang diperoleh di sebuah minimarket di dekat kampus. Untuk mendapatkannya pun, dia harus antre.

Parahnya, malam pertama menginap di kampus, salju turun dengan lebatnya. Padahal pakaian yang dikenakan juga seadanya, tak cukup meredam hawa dingin yang menusuk tulang. Untungnya kondisi mengkhawatirkan itu tak perlu dirasakannya berhari-hari. Dia, keluarga, dan warga yang lain kemudian diangkut ke tempat pengungsian yang lebih terlindung dari salju.

Sulitnya mencari makanan juga dirasakan Ahmad Budihartanto, mahasiswa di Sendai Language School. Selama dua hari pertama, mahasiswa yang baru tujuh bulan belajar di Jepang ini terpaksa bertahan hidup dengan mengonsumsi kacang dan permen yang jumlahnya terbatas. Dia juga sempat merasakan dinginnya hujan salju.

Ahmad merasakan betul sulitnya mencari kebutuhan pokok. Semua seketika menjadi barang langka. Namun, di tengah kesulitan itu, dia menaruh rasa kagum kepada penduduk Jepang yang tetap disiplin. Tatkala berbelanja di toko yang masih buka, mereka tetap mengantre dengan tertib. Tak ada satu pun kasus penjarahan toko seperti yang banyak terjadi di negara lain yang sedang dirundung bencana alam. ''Saya sangat salut dengan orang Jepang, mereka tetap menjaga kedisiplinan,'' pujinya.

Saat gempa besar terjadi, Eko Pradjoko, mahasiswa S3 Teknik Sipil di Universitas Tohoku juga menyaksikan sendiri kedisiplinan warga Jepang. Kala itu, dia berada di lantai dua laboratorium kampusnya bersama beberapa mahasiswa asli Jepang. Begitu gempa datang, seperti dikomando, para mahasiswa Jepang itu langsung berlindung di bawah meja untuk melindungi kepala dari reruntuhan.

Mereka tetap tenang di kolong meja dan begitu yakin konstruksi bangunan yang dirancang tahan gempa akan bekerja dengan baik. Gempa susulan terjadi dan mereka tetap di tempatnya. Hingga keadaan benar-benar aman, barulah mereka bergegas keluar ruangan dengan tertib. ''Waktu itu cuaca sangat dingin, untung masih ada jaket yang bisa sedikit menghangatkan tubuh saya,'' ujar Eko menambahkan.

Eko menceritakan, tak ada satu pun mahasiswa Jepang itu yang terlihat panik. Mereka sepertinya sudah memahami apa yang mesti dilakukan saat dan sesudah gempa mengguncang. Tak hanya itu, kemudian mereka juga memanfaatkan telepon genggam yang dilengkapi televisi untuk mencari saluran berita yang mengabarkan kondisi terakhir gempa. ''Dari televisi itu kami mendapatkan kabar adanya gelombang tsunami,'' katanya.

Mengetahui adanya tsunami, Eko dan mahasiswa lainnya lalu berlari ke arah sebuah bukit di dekat kampus. Untungnya, gelombang tsunami itu tidak sampai ke kampus karena letaknya yang cukup jauh dari pantai dan berada pada dataran tinggi. ''Tapi saya lihat tsunami itu dari atas bukit,'' ujarnya.

Dua hari setelah gempa, seratus lebih mahasiswa dan warga asal Indonesia yang berada di Sendai dan Fukushima, Prefektorat Fukushima, akhirnya berhasil ditemukan tim evakuasi yang dikirim Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Mereka dievakuasi ke Tokyo dan sehari kemudian (15/3) sebanyak 99 di antaranya langsung diterbangkan ke Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement