REPUBLIKA.CO.ID, ISHINOMAKI - Banyak anak yang mengungsi di Sekolah Dasar Kama, di pinggiran timur kota Ishinomaki, bermain di koridor atau membantu orang tua mereka menggosok sepatu bot berlapis lumur dalam air kotor kolam sekolah. Itulah segelintir pemandangan kehidupan para bocah Jepang setelah gempa dan tsunami menghantam negara mereka.
Namun, atmosfer di ruang lantai tiga, di mana 30 anak dengan orang tua yang hilang ketika tsunami menyapu kota mereka, sangat berbeda jauh. Diintip dari jendala anak-anak di ruang itu duduk dalam posisi lebih diam dan asyik tenggelam dalam buku bacaan atau permainan kartu. Mereka diawasi oleh kerabat atau guru.
Wartawan dilarang masuk dan bicara dengan mereka. Sangat bisa dipahami, mereka tidak ingin anak-anak itu dibebani dengan lebih banyak pengingat bencana yang telah menimpa mereka.
Salah satu guru di sekolah, Masami Hoshi yang mengajar olahraga, sejak tsunami terjadi, telah berupaya memperoleh cukup makanan untk 657 orang yang tinggal di bangunan sekolah empat lantai itu dan menemukan siswa dan orang tua yang hilang.
Upayanya cukup membuahkan hasil, namun ketigapuluh anak di lantai tiga itu masih sendiri. "Tsunami menerjang hanya beberapa saat ketika orang tua berada di tengah kelas-kelas untuk menjemput anak-anak mereka, sehingga kami bisa menyelamatkan mereka di dalam dengan aman," ujer Hoshi seperti yang dilansir Daily Telegraph, Kamis (17/3).
"Murid-murid lebih junior telah pergi dengan orang tua mereka sedikit lebih awal," ujarnya. "Mereka yang pergi ke belakang gedung sekolah mungkin selamat," ujarnya lagi
"Tapi mereka yang pergi ke arah sana--ia menunjuk area seberang taman bermain yang kini tertutup lumpur, yakni jalan dipenuhi mobil-mobil berserakan, tiang listrik dan pecahan kaca--mungkin tidak berhasil."
Meski sekolah itu berkilometer jaraknya dari dinding laut yang dibuat untuk melindungi Ishinomaki, terlihat dinding itu telah terdampar hingga ke area bermain dan di lantai dasar gedung. Gedung itu setinggi orang dewasa dan di atas kepala para murid di sini.
"Beberapa orang tua terseret kembali ke halaman bermain ketika air mundur menyurut, sehingga kami melemparkan selang pemadam kebakaran untuk menarik mereka semua kembali," tutur Hoshi.
Kini, tak ada listrik, air atau pemanas di sekolah itu. Hoshi juga tengah menunggu makanan diantarkan dan tak seorang pun tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Sementara sejumlah gambar coretan anakpanak masih tertempel di dinding menunjukkan gunung, hewan-hewan dan sebuah perahu di laut.
Seorang perempuan tengah baya menjaga semangat tetap konstan--namun terdengar putus asa--untuk menyapu koridor-koridor dari lumpur membeku dan serpihan bangunan. Futon--kasur lipat khas Jepang--dan pakaian dikeringkan di susuran tangga lantai teratas sekolah.
Sekitar 163 ribu orang tercatat sebagai penduduk Ishinomaki. Sejauh ini 425 orang telah dinyatakan meninggal sementara 1.693 lain berstatus hilang.
Butuh waktu berpekan lagi untuk mengetahu nasib para orang tua, saudara anak-anak tersebut. Itu pun bila mereka ditemukan.