REPUBLIKA.CO.ID,JENEWA--Sampai dengan 2.500 orang akan perlu dievakuasi dari perbatasan Libya dengan Tunisia dan Mesir di masa mendatang, salah satu evakuasi terbesar dalam sejarah kemanusiaan, menurut UNHCR dan IOM, Jumat. Kedua organisasi itu tidak memberikan perkiraan arus keluar manusia setelah resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kamis lalu, yang membuka peluang dilakukannya serangan udara ke Libya, namun mengakui bahwa resolusi itu akan memberi dampak pada arus keluar manusia dari Libya.
"Dengan pemberlakuan zona larangan terbang, kita tidak jelas tentang apa dampaknya pada arus keluar orang dari Libya. Namun, kita melihat bahwa akan ada dampaknya pada (pekerja) migran," kata Fernando Calado, Pimpinan divisi keadaan darurat dan pasca krisis Organisasi Migrasi Internasional.
Sekitar 300 ribu orang telah mengungsi dari Libya sejak bentrokan pecah antara kelompok perlawanan dengan kekuatan pro-rezim, dan banyak lagi yang akan meninggalkan negara itu, kata badan-badan tersebut. "Ini adalah salah satu peristiwa evakuasi kemanusiaan terbesar dalam sejarah," kata William Lacy Swing, Pimpinan IOM, yang merupakan sebuah organisasi antar-pemerintah.
"Kami memperkirakan adanya kebutuhan untuk melanjutkan proses evakuasi. Orang terus berdatangan di perbatasan. Terdapat arus yang berbeda sesuai dengan dengan keadaan yang berbeda di Libya," kata Melissa Fleming, juru bicara Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). "Tapi kami memperkirakan bahwa akan ada sedikitnya 1.500 sampai 2.500 orang setiap harinya yang membutuhkan evakuasi untuk waktu yang akan datang," tambahnya.
Sementara mereka yang mengungsi sedari awal adalah para pekerja asing. UNHCR mencatat bahwa telah terjadi peningkatan jumlah rakyat Libya yang melarikan diri ke Mesir beberapa waktu terakhir. Sekitar 1.490 rakyat Libya melintasi perbatasan pada hari Rabu lalu.
"Sebagian dari mereka yang diwawancarai di perbatasan Mesir mengatakan bahwa mereka meninggalkan rumahnya karena takut terperangkap dalam pertempuran. Banyak pihak menyebutkan mengenai adanya ancaman yang dibuat oleh pemerintah dalam beberapa hari terakhir untuk membombardir Benghazi, "kata Fleming.