REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah Indonesia berbagi pengalaman dengan Timor Leste mengenai penanganan pengungsi khususnya saat Indonesia membantu badan PBB menangani pengungsi asal Vietnam di Pulau Galang pada dekade 1980-an. Hal tersebut disampaikan Staf Khusus Presiden bidang hubungan internasional Teuku Faizasyah dalam keterangan pers di kantor Presiden Jakarta, Selasa (22/3), usai pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan PM Timor Leste Kay Rala Xanana Gusmao di Istana Merdeka.
Faiza mengatakan dalam pertemuan itu meski tidak secara khusus dibahas tentang isu pusat pemrosesan imigran di Timor Leste, namun kedua pemimpin bertukar pikiran dan pengalaman mengenai penanganan pengungsi. "Tidak secara spesifik di bahas, tapi dilihat dalam kerja sama kawasan menangani 'poeple smuggling'. Indonesia berbagi informasi pengalaman saat mengelola Pulau Galang membantu UNHCR memproses warga negara asing mencari wilayah penempatan lebih lanjut," kata Faiza.
Namun demikian sikap Indonesia terkait penanganan people smuggling di kawasan Asia Tenggara, Faiza mengatakan Indonesia menggunakan pendekatan 'Bali Processes' dalam penanganannya. Kedua pemimpin negara juga sempat membahas mengenai penyelesaian masalah perbatasan dan manajemen perbatasan.
"Perlu ada pengelolaan yang baik dan 'soft' manajemen karena hubungan antar masyarakat di perbatasan sangat baik. Tentu nanti akan dibahas di tataran teknis," kata Faiza.
Dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri RI seperti dikutip dari situs resmi kementerian tersebut, Indonesia menjadi tuan rumah dua pertemuan internasional yang membahas isu-isu penyelundupan manusia, perdagangan orang dan kejahatan-kejahatan lintas batas negara terkait lainnya. Dalam hal ini, Indonesia sebagai Co-Chairs Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime (Bali Process) telah menyelenggarakan Bali Process Ad Hoc Group Senior Officials Meeting (AHG SOM) dan Bali Process Senior Officials Meeting (SOM) di Bali pada tanggal 9-10 Maret 2011.
AHG SOM dihadiri oleh 12 most affected countries (negara asal, transit dan tujuan irregular migration) dan 2 organisasi internasional (IOM dan UNHCR) serta Filipina, Kanada dan USA serta ASEAN Secretariat dan UNODC sebagai observer. Sementara SOM dihadiri oleh 41 negara dan 2 organisasi internasional anggota Bali Process, serta 4 negara dan 5 organisasi internasional observer.
Indonesia dan Australia bertindak sebagai Co-Chairs pada pertemuan tersebut, masing-masing diwakili oleh Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri dan Australian Ambassador for People Smuggling. Beberapa hal disepakati pada kedua pertemuan tersebut. antara lain, negara-negara menyatakan kembali komitmennya terhadap kerja sama regional Bali Process sebagai upaya bersama untuk menanggulangi persoalan penyelundupan manusia dan perdagangan orang di kawasan.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam kerangka Bali Process sejauh ini dipandang bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas serta pertukaran informasi di antara negara-negara di kawasan. Negara-negara menyepakati perlunya dibentuk sebuah mekanisme regional yang diharapkan akan menjadi solusi dalam mengatasi masalah irregular migration di kawasan.
Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa irregular migration bukan merupakan masalah yang di hadapi negara tertentu saja, tetapi merupakan masalah bersama yang dihadapi negara-negara di kawasan. Dan negara-negara juga menyepakati pentingnya peningkatan kerja sama dalam penanggulangan perdagangan orang melalui forum Bali Process.
Dalam kaitan ini, Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan regional workshop on combating trafficking in persons pada paruh kedua tahun 2011.