REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Nick Harvey, Menteri Angkatan Bersenjata Inggris menggeleng saat ditanya berapa lama Inggris akan terlibat dalam operasi militer di Afrika utara. Dia menjawab, "Berapa lama? Kita tidak tahu berapa lama ini akan berlangsung."
Hari ini adalah hari keempat keterlibatan militer negara itu di Libya. Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat menghadapi tekanan internasional untuk menetapkan batas-batas keterlibatan Inggris dan menjelaskan strategi akhir mereka.
Anggota parlemen menjadi semakin khawatir bahwa Inggris akan "tersedot lebih dalam" untuk sebuah konflik yang berkepanjangan. Menambah rasa ketidakpastian, Perancis dan Inggris tetap berselisih atas rencana NATO untuk mengambil alih komando operasi militer ketika AS membatasi keterlibatannya.
Parlemen sangat mendukung peran Inggris di Libya pekan ini, namun ketidakpastian tentang strategi akhir membuat banyak anggota parlemen khawatir.
The Daily Telegraph telah menghitung bahwa untuk berpatroli di zona larangan terbang di Libya menelan biaya sekitar 3,2 juta poundsterling sehari, sebelum senjata dimuntahkan. Dalam wawancara dengan BBC, Harvey mengakui bahwa intervensi Barat bisa mengakibatkan "jalan buntu" antara Qaddafi dan pemberontak, dengan masing-masing saling menguasai beberapa wilayah negeri. "Jika ya, itu tidak akan diinginkan, namun hasil yang stabil di mana mereka tidak akan saling membunuh dalam arti menjadi salah satu cara mencapai tujuan kemanusiaan," katanya.
Dia juga menolak untuk menyingkirkan penyebaran skala kecil pasukan darat Inggris ke Libya.
Rory Stewart, seorang anggota parlemen Konservatif dan mantan diplomat, mengatakan bahwa menteri harus memastikan bahwa keterlibatan Inggris adalah sangat terbatas untuk menegakkan zona larangan terbang, dan menghindari diseret ke dalam konflik internal negara itu.
"Kami belum menyatakan perang terhadap qaddafi dan kita tidak boleh menyatakan perang terhadap qaddafi," katanya. "Jangan terjebak dalam Libya."