Ahad 20 Jan 2019 19:18 WIB

Krisis di Argentina, Perusahaan tak Mampu Pecat Karyawan

UU Perburuhan memaksa perusahaan harus membayar pesangon tinggi karyawan.

Seorang pesepeda melintasi grafiti berbahasa Spanyol di jalan di Buenos Aires, Argentina, Selasa (4/9). Grafiti tersebut berarti 'Pergilah IMF'. Beberapa pekan terakhir, krisis Argentina meningkat dan memaksa negara tersebut berutang ke IMF.
Foto: AP Photo/Natacha Pisarenko
Seorang pesepeda melintasi grafiti berbahasa Spanyol di jalan di Buenos Aires, Argentina, Selasa (4/9). Grafiti tersebut berarti 'Pergilah IMF'. Beberapa pekan terakhir, krisis Argentina meningkat dan memaksa negara tersebut berutang ke IMF.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fergi Nadira

Seperti banyak pengusaha Argentina lainnya, Marco Meloni melakukan segalanya untuk menghindari langkah merumahkan staf di pabrik tekstilnya meskipun ada penurunan penjualan. Penurunan penjualan menyusul suku bunga yang dikenakan lebih dari 70 persen dan melonjaknya tagihan listrik di Argentina.

Alasan Meloni, yakni dia tidak memiliki cukup uang untuk memecat siapa pun. Cerita yang sedikit dilaporkan ke luar adalah krisis ekonomi yang mencekam negara terbesar ketiga di Amerika Latin itu tidak banyak membuat pekerja kehilangan pekerjaan mereka.

Bisnis kecil sebagai pemberi kerja terbesar di Argentina menjadi yang paling parah terpukul oleh inflasi yang hampir 48 persen. Nilai tukar peso yang jatuh dan pemotongan besar untuk subsidi utilitas publik telah secara tajam meningkatkan biaya operasi perusahaan. Namun, tingkat pengangguran hampir tidak beranjak dari 9 persen.

Kantor berita Reuters melakukan wawancara dengan pemilik bisnis di industri tekstil, plastik, pakaian dan cat, pejabat pemerintah serta pemimpin serikat pekerja. Mereka menunjukkan, bahwa banyak perusahaan mengadopsi strategi berbeda untuk mencoba bertahan hingga ekonomi negara mulai pulih. Pemulihan yang diharapkan yakni oleh Dana Moneter Internasional akan dimulai pada tahap kedua.

Setelah ekonomi menunjukkan peningkatan, perusahaan akan mengurangi jam kerja, menghentikan produksi pada beberapa hari, memotong shift dan membuat para pekerja libur untuk mengantisipasi permintaan pelanggan yang lebih banyak. Menurut data pemerintahan, ada sekitar 120 ribu pekerja tenaga kerja kontrak yang terdaftar antara Oktober 2017 dan Oktober 2018. Angka tersebut mewakili sekitar satu persen dari 12 juta tenaga kerja.

Argentina memiliki beberapa Undang-undang Ketenagakerjaan paling dermawan di dunia dan mereka membuatnya lebih sulit bagi pemilik usaha kecil seperti Meloni untuk beradaptasi dengan ekonomi yang sekarang dalam resesi. Biasanya, dalam iklim ekonomi yang sulit, perusahaan akan mengurangi tenaga kerjanya untuk memotong biaya. Namun, di Argentina jika mengambil langkah itu dapat secara dramatis meningkatkan biaya dan berpotensi mendorong perusahaan menjadi bangkrut.

Diperkenalkan oleh pemerintah Peronis sejak 1940-an, Undang-undang Perburuhan menjadikan negara itu salah satu negara di Amerika Latin yang mahal untuk mempekerjakan, atau memecat, seorang pekerja. Perusahaan-perusahaan Argentina diharuskan membayar pekerja yang diberhentikan sebulan untuk setiap tahun pelayanan ditambah setidaknya satu bulan tambahan hanya untuk memberi tahu bahwa mereka dipecat.

Dan yang terpenting, tidak ada batasan berapa banyak yang harus dibayar perusahaan. Sebaliknya, negara tetangganya, Chile, memiliki batasan pembayaran pesangon. Biaya PHK di Argentina termasuk yang tertinggi di dunia, menurut proyek Doing Business Bank Dunia, yang mengukur peraturan bisnis di 190 negara.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement