REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Sebanyak 37 akademisi dari fakultas seni dan ilmu sosial Universitas Sydney telah menyatukan langkah untuk memboikot universitas-universitas Israel. Boikot dilakukan setelah tentara Israel membunuh puluhan warga Palestina di Jalur Gaza dalam bentrokan baru-baru ini.
Para akademisi itu telah menandatangani ikrar untuk memutuskan semua kontak resmi dengan universitas Israel, sampai Israel mengakhiri pendudukannya atas tanah Palestina yang telah ditentukan PBB. Israel juga diminta memberikan kesetaraan penuh di hadapan hukum bagi warga Palestina dan mengakui hak warga Palestina untuk kembali ke rumah tempat mereka diusir pada perang 1948.
Para penandatangan ikrar ini tidak akan menghadiri konferensi yang disponsori oleh universitas Israel. Mereka juga tidak akan berpartisipasi dalam skema pertukaran akademik atau berkolaborasi secara profesional dengan universitas Israel sampai tuntutan yang dinyatakan telah terpenuhi.
Ikrar tersebut mengikuti prinsip-prinsip kampanye boikot, divestasi, dan sanksi (BDS), sebuah gerakan internasional yang terinspirasi dari keberhasilan boikot dalam mengakhiri apartheid di Afrika Selatan.
Nick Riemer, seorang dosen senior jurusan bahasa Inggris dan linguistik di Universitas Sydney mengatakan tanggapan dari sesama akademisi sangat menggembirakan mengenai upaya boikot ini. Dia berharap aksi ini dapat menginspirasi akademisi lain di seluruh Australia untuk ikut mengambil tindakan.
"Orang-orang sudah berbicara di Melbourne tentang kemungkinan adanya boikot seperti ini juga. Kami sangat menginginkan aksi ini menjadi aksi nasional," ujar Riemer.
Menurut Riemer, kurangnya kecaman internasional setelah terjadi pembunuhan 29 demonstran Palestina yang tidak bersenjata oleh pasukan Israel, telah membuat aksi boikot ini menjadi sangat penting. "Faktanya, yang dapat ditoleransi oleh masyarakat internasional adalah tindakan boikot yang dilakukan oleh masyarakat sipil, dan boikot akademik," jelasnya.
Ikrar akademis itu tidak berarti para akademisi ini akan secara otomatis berhenti berkolaborasi dengan rekan-rekan mereka di Israel. "Ini berarti mereka tidak akan terlibat dalam kegiatan yang disponsori langsung oleh universitas Israel. Ini boikot institusional," papar Riemer.
Ia menegaskan, kampanye BDS diluncurkan atas permintaan warga Palestina dan boikot akademik adalah salah satu senjata penting dari kampanye itu. Ia mengaku sangat gembira mengetahui ada 37 akademisi Universitas Sydney yang ikut menandatangani aksi boikot.
Namun aksi ini mendapat kritikan tajam dari Colin Rubenstein, Direktur Eksekutif Australia/Israel & Jewish Affairs Council. Ia mengatakan para akademisi ini tidak memiliki pendirian dalam mendukung kekerasan.
"Tampaknya setiap kali Israel yang diserang dan dipaksa untuk membela diri, akademisi di Universitas Sydney tetap akan menuduh Israel, bukan kelompok Hamas, yang bertanggung jawab atas masalah ini," ujar Rubenstein.
"Jika beberapa akademisi yang telah menandatangani ikrar itu benar-benar peduli akan rekonsiliasi Israel-Palestina, maka mereka juga harus mengutuk Otoritas Palestina dan Hamas," tambah dia.