Senin 18 Feb 2019 15:34 WIB

Pakistan Panggil Duta Besarnya di India

Pekan Lalu India juga memanggil duta besarnya untuk Pakistan setelah serangan Kashmir

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Perbatasan Kashmir yang memisahkan India dan Pakistan.
Foto: Zee Media Bureau
Perbatasan Kashmir yang memisahkan India dan Pakistan.

REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Pakistan telah memanggil duta besarnya untuk India, Senin (18/2). Dia diminta kembali ke Islamabad guna membahas hubungannya dengan New Delhi pascainsiden serangan di Kashmir pekan lalu.

"Kami telah memanggil kembali Komisaris Tinggi kami di India untuk berkonsultasi. Dia meninggalkan New Delhi pagi ini," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Pakistan Mohammad Faisal melalui akun Twitter pribadinya.

Baca Juga

Pekan lalu, India juga telah memanggil duta besarnya untuk Pakistan. Tujuan pemanggilan serupa, yakni untuk membahas hubungan antara kedua negara tersebut.

Pekan lalu, serangan bom bunuh diri terjadi di wilayah Jammu Kashmir. Insiden tersebut menewaskan setidaknya 44 personel militer India.

Kelompok Jaish e-Mohammad mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Pemerintah India pun menyerukan Pakistan agar menindak keras kelompok Jaish.

Pakistan turut mengecam insiden bom bunuh diri di Jammu Kashmir. Namun, ia membantah terlibat dalam serangan itu seperti yang sempat ditudingkan oleh India. Insiden terbaru di wilayah tersebut telah menyebabkan hubungan diplomatik India dengan Pakistan memanas.

Kashmir merupakan sebuah wilayah di Himalaya dengan penduduk mayoritas Muslim yang dipersengketakan India dan Pakistan. Kedua negara telah terlibat tiga kali perang yakni pada 1948, 1965, dan 1971, karena memperebutkan Kashmir.

Beberapa kelompok Kashmir di Jammu dan Kashmir telah berperang melawan India guna meraih kemerdekaan. Kalaupun tidak berhasil merdeka, mereka ingin berpisah dari India dan bergabung dengan Pakistan.

Menurut beberapa organisasi hak asasi manusia, ribuan orang dilaporkan telah tewas akibat konflik di Kashmir sejak 1989.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement