Selasa 15 Jan 2019 20:40 WIB

Parlemen Inggris Tentukan Nasib Kesepakatan Brexit

Jajak pendapat digelar untuk menentukan kesepakatan Brexit di Parlemen Inggris.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Brexit
Foto: Ap Photo
Brexit

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Parlemen Inggris, pada Selasa (15/1), mengadakan voting untuk menentukan apakah mendukung kesepakatan hengkangnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) yang telah dicapai Perdana Menteri Theresa May. Hasil pemungutan tersebut akan mempengaruhi dinamika politik dan ekonomi Inggris dalam beberapa dekade ke depan.

Pemungutan suara digelar pukul 19.00 waktu setempat. May telah menyerukan para anggota parlemen untuk mendukung kesepakatannya. Sebab jika tidak, ia mengklaim hal itu berisiko mengecewakan rakyat Inggris.

"Itu (kesepakatan Brexit) tidak sempurna, tapi ketika buku-buku sejarah ditulis, orang akan melihat keputusan parlemen ini dan bertanya, 'Apakah kita memberikan suara dalam pemungutan suara negara untuk meninggalkan Uni Eropa, apakah kita melindungi ekonomi kita, keamanan atau persatuan, atau apakah kita mengecewakan rakyat Inggris," kata May dalam pidatonya di Commons pada Selasa pagi, dikutip laman BBC.

Menteri Lingkungan Hidup Inggris Michael Gove, salah satu menteri senior di kabinet May, meminta anggota parlemen menghormati hasil keputusan referendum Brexit 2016. Referendum itu menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen masyarakat Inggris menginginkan Brexit.

Ia menilai, jika anggota parlemen menentang kesepakatan Brexit yang telah dicapai May dengan Uni Eropa, hal itu dapat merusak demokrasi. "Rakyat Inggris telah meletakkan tanggung jawab pada kami. Apakah kita akan memenuhi tanggung jawab itu dan memilih meninggalkan Uni Eropa atau kita akan mengecewakan mereka dan merusak demokrasi kita dengan tidak memilih untuk meninggalkan Uni Eropa?" kata Gove.

Kendati demikian, banyak anggota parlemen, termasuk dari partai May, yakni Conservative Party, yang menolak kesepakatan backstop Irlandia Utara. Hal itu terkait dengan pengaturan perbatasan antara Irlandia Utara yang termasuk dalam wilayah Inggris Raya dan Republik Irlandia yang merupakan anggota Uni Eropa. Guna mencegah penerapan perbatasan yang ketat, jika Inggris dan Uni Eropa tidak dapat menyepakati kesepakatan dagang dalam masa transisi selama 21 bulan, yang dapat diperpanjang setelah London hengkang pada 29 Maret mendatang, backstop dapat diterapkan.

Situasi tersebut akan membuat Irlandia Utara, secara umum, tetap selaras dengan aturan Uni Eropa. Dengan demikian pergerakan barang dan manusia secara bebas seperti saat ini dapat terus berlanjut.

Anggota parlemen Inggris menganggap kesepakatan backstop Irlandia Utara tak adil. Oleh sebab itu, sekitar 100 anggota parlemen dari Conservative Party dan 10 anggota parlemen dari Democratic Unionist diperkirakan dapat bergabung dengan Labour Party dan partai oposisi lainnya untuk menentang kesepakatan tersebut.

Pemimpin Democratic Unionist Arlene Foster menyebut kesepakatan backstop "beracun". Ia telah menegaskan bahwa 10 anggota partainya di parlemen akan menentang kesepakatan itu. "Sudah waktunya untuk kesepakatan yang masuk akal yang mengatur kita keluar dari Uni Eropa dan mendukung semua bagian Inggris," katanya.

Pemimpin Labour Party Jeremy Corbyn telah mengecam kesepakatan Brexit May. Dia kembali menyerukan penyelenggaraan pemilu jika disetujui parlemen.

Corbyn berjanji partainya akan segera menyerukan mosi tidak percaya terhadap pemerintah. "Theresay May telah memeras anggota parlemen Labour Party untuk memilih kesepakatannya yang gagal dengan mengancam negara itu dengan kekacauan tanpa kesepakatan," katanya pada Senin (14/1).

"Saya tahu dari percakapan dengan rekan-rekan bahwa ini telah gagal. Labour Party tidak akan dituntut tebusan," ujar Corbyn.

May dilaporkan telah mengajukan sejumlah amandemen kesepakatan kepada parlemen Inggris. Proposal yang diajukan termasuk memberikan anggota parlemen suara apakah akan menerapkan backstop dan menetapkan batas waktu berapa lama backstop bisa bertahan.

Jika kesepakatan May ditolak, dia memiliki waktu tiga hari untuk kembali ke parlemen dengan rencana alternatif. Beberapa pihak menyarankan May bertolak ke Brussels, Belgia, pada Rabu (16/1) untuk mencoba mendapatkan konsesi lebih lanjut dari Uni Eropa sebelum kembali ke parlemen.

Setelah itu, pemungutan suara dapat kembali dilakukan. Jika upaya itu gagal, pendukung senior Conservative Party, yakni Nick Boles, Sir Oliver Letwin, dan Nicky Morgan, telah mengajukan "European Union Withdrawal Number 2 Bill".

Hal itu akan memberi May waktu selama tiga pekan lagi untuk membuat rencana lain dan menyelesaikannya kembali melalui parlemen. Bila usaha itu juga tak berhasil, mereka mengusulkan agar tanggung jawab pembuatan kesepakatan diberikan kepada Komite Penghubung. Komite itu terdiri dari ketua semua komite terpilih Commons, yang diambil dari Conservative Party dan partai-partai oposisi.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement