Senin 17 Jun 2019 16:07 WIB

Sungai di Dunia Tercemar Limbah Antibiotik

Limbah antibiotik dapat menyebabkan bakteri resisten terhadap obat.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Sungai Thames di London.
Foto: EPA/FACUNDO ARRIZABALAGA
Sungai Thames di London.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sebuah penelitian global melaporkan, ratusan sungai di seluruh dunia, mulai dari Sungai Thames hingga Sungai Tigris dipenuhi dengan polusi antibiotik tingkat tinggi yang berbahaya. Polusi antibiotik adalah salah satu penyebab di mana bakteri dapat mengembangkan resistensi terhadap obat-obatan.

"Banyak gen resistensi yang kita lihat pada patogen manusia berasal dari lingkungan," ujar ahli ekologi mikroba University of Exeter, William Gaze dilansir The Guardian.

Baca Juga

Sampel yang diambil dari Danube di Austria mengandung tujuh antibiotik, termasuk klaritromisin yang digunakan untuk mengobati infeksi saluran pernapasan seperti pneumonia dan bronkitis. Danube yang merupakan sungai terbesar di Eropa disebut paling tercemar antibiotik. Delapan persen dari sungai-sungai yang diuji di Eropa berada di atas batas aman. 

Sementara, Sungai Thames yang dianggap sebagai salah satu sungai terbersih di Eropa justru terkontaminasi campuran lima antibiotik bersama dengan beberapa anak sungainya. Satu situs sungai dan tiga anak sungai tercemar dengan level di atas tingkat yang aman. 

Sungai tersebut tercemar Ciprofloxacin, yang digunakan untuk mengobati infeksi pada kulit dan saluran kemih. Gaze mengatakan, sungai yang terkontaminasi dengan antibiotik tingkat rendah juga termasuk ancaman serius.

"Bahkan konsentrasi rendah yang terlihat di Eropa dapat mendorong evolusi resistansi dan meningkatkan kemungkinan bahwa gen resistansi ditransfer ke patogen manusia," kata Gaze. 

Obat-obatan tercemar ke sungai dan tanah melalui limbah manusia serta hewan. Selain itu, penyebab lainnya adalah kebocoran dari pabrik pengolahan air limbah dan pabrik obat. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, peningkatan bakteri yang kebal terhadap antibiotik dapat mencapai keadaan darurat kesehatan global dan membunuh 10 juta orang pada 2050.

"Ini sangat menakutkan dan menyedihkan. Kita memiliki sebagian besar lingkungan yang tercemar antibiotik pada tingkat yang cukup tinggi untuk memengaruhi resistensi," ujar ilmuwan lingkungan University of York, Alistair Boxall. 

Para peneliti menguji 711 situs sungai di 72 negara. Dari jumlah tersebut sekitar 65 persen sungai tercemar oleh antibiotik. Sebanyak 111 lokasi sungai memiliki konsentrasi antibiotik melebihi tingkat aman, dengan kasus terburuk lebih dari 300 kali lipat di atas batas aman. 

Dilaporkan Sky News, dari 711 sungai yang diteliti, terdapat 307 sungai terdeteksi trimethoprim yang digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih. Sedangkan, Ciproflaxacin juga tercemar di 51 sungai. Ciproflaxacin adalah antibiotik yang konsentrasinya melebihi ambang batas aman.

"Memecahkan masalah akan menjadi tantangan besar dan akan membutuhkan investasi dalam infrastruktur untuk pengolahan limbah dan air limbah, regulasi yang lebih ketat dan pembersihan situs yang sudah terkontaminasi," ujar Boxall.

Negara-negara berpenghasilan rendah umumnya memiliki konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi di sungai, yakni di Afrika dan Asia. Sungai dengan konsentrasi antibiotik terburuk yakni di Bangladesh. Sungai di negara tersebut tercemar metronidazole yang digunakan untuk mengobati infeksi kulit dan mulut dengan 300 kali lipat di atas batas aman. 

Residu yang terdeteksi di dekat fasilitas pengolahan air limbah di negara-negara berpenghasilan rendah sering tidak memiliki teknologi untuk menghilangkan zat yang terkandung dalam obat-obatan. Limbah biasanya langsung dibuang ke sungai, seperti yang dilakukan di sebuah lokasi di Kenya. Limbah itu menghasilkan konsentrasi antibiotik dengan tingkat 100 kali lipat di atas batas aman.

"Meningkatkan pengelolaan layanan kesehatan dan kebersihan yang aman di negara-negara berpenghasilan rendah sangat penting dalam memerangi resistensi antimikroba," ujar analis kesehatan dan kebersihan Water Aid, Helen Hamilton. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement