Senin 10 Jul 2017 15:39 WIB

Ketika Konstantinopel Berganti Ankara, Belajar Memindahkan Ibu Kota dari Turki

Salah satu keindahan di sudut kota Istanbul, Turki. (ilustrasi)
Salah satu keindahan di sudut kota Istanbul, Turki. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Konstantinopel alias Istanbul menjadi cerita lama ketika sebuah dinasti yang menamai kota itu sebagai Bizantium mencapai puncak kejayaannya. Kala itu Kaisar Romawi Konstantin I menjadikan kota di tepi Selat Bosphorus itu sebagai Ibu Kota Kekaisaran Romawi pada 11 Mei 330 M.

Meski Konstantin sempat menamai kotanya Nova Roma (Roma Baru), tetapi nama tersebut tidak pernah digunakan secara umum. Dan nyatanya Konstantinopel dan Kekaisaran Romawi Timur akhirnya jatuh kepada Kekaisaran Ottoman pada 29 Mei 1453.

Awalnya Konstantinopel tetap pada fungsinya sebagai ibu kota. Namun, ketika Republik Turki dibentuk, posisi tersebut pun direbut dari Konstantinopel.

Rezim pun berpindah, dan tepat pada 13 Oktober 1923, ibu kota Turki beralih ke Ankara yang sebelumnya dikenal dengan nama Angora atau Enguru. Di masa Romawi, kota tersebut dikenal sebagai Ancyra dan di masa Hellenistik sebagai Ankyra.

Kota terbesar kedua di Turki itu memiliki peran sangat penting dilihat dari sisi ekonomi dan industri. Kota itu terletak di daerah terkering di Turki dan dikelilingi daerah stepa dengan berbagai situs arkeologi dari masa Ottoman, Bizantium, dan Romawi.

Namun, harus diakui Turki mengalami tahun-tahun peralihan yang tidak mudah saat awal ibu kota berpindah. Kesulitan perpindahan ibu kota dirasakan pada masa-masa Pemerintahan Ataturk, namun Mustafa Kemal tidak menyerah sebab ia memiliki alasan yang kuat memindahkan pusat pemerintahannya ke Ankara.

Dengan mempertimbangkan lokasi Ankara yang strategis atau berada di tengah Asia kecil, sementara daratan Turki 97 persen di antaranya berada di Asia kecil maka hal itu akan membuat Ataturk lebih mudah mengontrol pemerintahannya dari barat ke timur, daripada tetap menjadikan Istanbul sebagai ibu kota.

Ataturk sekaligus ingin mendegradasi kebencian para ulama terhadapnya yang ingin melanggengkan sekularisme, ia tak ingin menghapus sejarah tentang Istanbul yang telah berabad-abad menjadi simbol kekhalifahan Utsmaniyah. Oleh karena itu, ia pun membangun sejarah baru sebuah demokrasi berbasis sekularisme di Ankara sebagai pusat pemerintahannya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement