Sabtu 08 Jul 2017 15:58 WIB

Politik Anti-Imigran Ancam Pekerja dari Negara Berkembang

Aksi unjuk rasa menolak kebijakan anti-imigran Donald Trump di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Aksi unjuk rasa menolak kebijakan anti-imigran Donald Trump di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Migrant Care menyoroti adanya kecenderungan peningkatan gerakan global di sejumlah negara yang anti-tenaga kerja asing dan melihat fenomena tersebut sebagai ancaman bagi sektor ketenagakerjaan.

"Kecenderungan politik anti-migrasi yang mengemuka di Amerika setelah terpilihnya Donald Trump dan penguatan populisme kanan di negara-negara anggota G20 adalah ancaman bagi kebebasan bermobilitas pekerja dari negara-negara berkembang," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo dalam keterangan tertulis, Sabtu (8/7).

Menurut Wahyu Susilo hal tersebut juga berarti mempersempit ruang aman bagi para pengungsi yang terusir karena konflik yang terjadi di negara asalnya. Untuk itu, dia berharap, KTT G20 yang sedang berlangsung di Jerman saat ini dapat mengeluarkan pernyataan yang mendukung agar tidak adanya diskriminasi, serta memastikan mobilitas pekerja antar-negara dilindungi dalam skema hak asasi manusia.

Pada awal bulan ini, Satuan Tugas Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur mengimbau kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal agar pulang daripada terkena razia Imigrasi Malaysia.

"Kepada Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) WNI agar mendaftar program pulang sukarela. Selain lebih murah PATI juga tidak harus dipenjara dan pulang melalui Depo Imigresen (Imigrasi)," ujar Kepala Satgas Perlindungan WNI KBRI Kuala Lumpur Yusron B Ambary di Kuala Lumpur, Ahad (2/7).

Jabatan Imigrasi Malaysia melakukan razia terhadap pekerja ilegal di seluruh negara bagian secara besar-besaran mulai Jumat (30/6) malam sehubungan berakhirnya program pendaftaran E-Card atau Kartu Pekerja Ilegal Sementara.

Pada 16 Juni lalu, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperingatkan usaha pemerintah negara di Asia Tenggara untuk menghentikan perempuan bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja wanita (TKW) bisa membuat mereka berisiko lebih besar menjadi korban eksploitasi dan perdagangan manusia.

Hampir separuh dari 53 juta tenaga kerja di dunia berasal dari Asia, kebanyakan adalah perempuan dari keluarga miskin yang mencari pendapatan tinggi di luar negeri.

Namun, kasus memilukan para TKW dipukuli dan diperkosa, mendorong beberapa pemerintah, termasuk Indonesia, Myanmar dan Kamboja, untuk berhenti mengirim TKW ke negara-negara tertentu dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam sebuah studi yang dirilis pada hari Jumat, Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Perempuan PBB mengatakan pembatasan semacam itu yang dirancang untuk melindungi kaum perempuan dari pelecehan, justru membuat perempuan terpapar risiko yang lebih besar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement