REPUBLIKA.CO.ID, GLASGOW — Gaza sering dijuluki sebagai sebuah penjara yang terbuka. Salah satu alasan utama mengapa julukan itu muncul adalah karena di wilayah Palestina itu terjadi blokade yang dilakukan oleh Israel dan Mesir, baik di jalur darat, udara, hingga laut.
Gaza, menurut sejumlah kelompok hak asasi manusia tengah di ambang bencana kemanusiaan.
Pada Februari lalu, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres menyoroti krisis yang terjadi di wilayah itu, di mana hampir dua juta warga Palestina hidup dalam kemiskinan, akses terbatas untuk kesehatan, pendidikan, bahkan untuk kebutuhan dasar mereka yaitu air dan listrik.
Meski demikian, banyak media yang sering tidak berhasil menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya di Palestina.
Sejumlah media pada umumnya tak dapat menyajikan kisah yang dialami warga Palestina dengan akurat, serta empati.
Peran media dalam meliput salah satu masalah internasional ini pun dibahas oleh sejumlah pengamat di Glasgow, Skotlandia beberapa waktu lalu. Aljazeera mewawancarai tiga panelis sebelum acara yang dipandu oleh The Balfour Project dimulai.
“Anda selalu mendapat tekanan khusus saat melaporkan peristiwa di Israel dan Palestina. Itu karena ada kesepakatan media Israel yang intens dan terpadu, selalu,” ujar Sarah Helm, mantan koresponden asing untuk surat kabar Independent Inggris.
Helm menuturkan kesepakatan itu termasuk negosiasi politik Israel yang sangat kuat dan bekerja di setiap tingkatan.
Dia mengakui hal itu bukanlah rahasia dan Israel juga tak akan merahasiakannya.
“Karena surat kabar telah menyetujui tekanan dan bujukan pro-Israel, hasilnya adalah para pembaca tak mendapatkan petunjuk tentang Palestina,” jelas Helm.
Saat ini, kekhawatiran serupa terjadi. Sebagai contoh adalah David Cronin, seorang penulis lepas untuk The Guardian.
Dia pernah mengungkapkan tentang dirinya yang frustrasi terhadap surat kabar Electronic Intifada, di mana dia bertindak sebagai editor asosiasi.
Cronin mengatakan setelah melaporkan tentang kekejaman yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina, surat kabar itu kemudian tidak menginginkannya menulis bahwa laporan itu berasal dari Gaza.
Bahkan, kemudian seorang editor menyarankan kepadanya agar menghindar dari meliput konflik Israel-Palestina.
Para pengunjuk rasa Palestina di dekat perbatasan antara Israel dan Jalur Gaza, bagian timur Gaza, Jumat (22/02/2019).
Laporan dari media Inggris juga mengabaikan sejarah kontekstual konflik antara Palestina dan Israel.
Termasuk di antaranya adalah fakta bahwa tujuh dari 10 warga Gaza menjadi pengungsi setelah kehilangan rumah akibat Israel yang menjajah tanah Palestina pada 1948.
Narasi media Barat telah didominasi Israel selama konflik yang 70 tahun lamanya telah berlangsung tersebut.
Israel dikatakan secara brilian berhasil menawarkan sebuah narasi yang diyakini oleh negara-negara Barat, tanpa menggunakan penilaian objektif.
Sir Vincent Fean, mantan konsul jenderal Inggris di Yerusalem, mengatakan perjuangan yang rumit dan mengakar di Gaza telah mengurangi "selera media Barat".
Pada akhirnya, hal ini membuat mereka memilih untuk mencari berita lain, yang dianggap lebih menarik.
“Selain kelelahan, ada juga fakta bahwa krisis lain di Timur Tengah lebih mengerikan, seperti Suriah dan Yaman," kata Fean.
Pada tahun 2017, Mariam Barghouti, seorang penulis Palestina-Amerika yang berbasis di Ramallah, menulis dalam sebuah kolom untuk Aljazeera.
Ia mengatakan banyak media berfokus kepada reaksi Palestina, namun bukan apa yang dilakukan Israel.
“Ini mengisyaratkan bahwa warga Palestina melakukan pelanggaran padahal sebenarnya mereka membela diri,” kata Barghouti.