REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Para pakar mengatakan Undang-undang Negara Bangsa Israel menjadi cikal bakal kebijakan apartheid terhadap warga Palestina yang tinggal di Israel. Warga Palestina di Israel akan semakin tertindas setelah Benjamin Netanyahu yang berasal dari sayap kanan kembali terpilih sebagai perdana menteri.
Ia menetapkan fase baru proyek bersejarah mengakhiri 'ancaman demografis' yang ditimbulkan warga Palestina di Israel. Menurutnya warga Palestina menjadi ancaman untuk mayoritas warga Yahudi.
Di London, Inggris para pakar menggelar konferensi yang mengeksplorasi tantangan 1,8 juta warga Palestina di Israel. Warga Palestina 20 persen dari total populasi Israel tapi kini mereka menghadapi diskriminasi yang semakin parah.
Kepada Aljazirah, pada Ahad (28/4), penulis terkemuka tentang Palestina, Jonathan Cook mengatakan Undang-undang Negara Bangsa yang disahkan pada 2018 lalu pada dasarnya meningkatkan kebijakan 'apartheid yang komprehensif'. Mencerminkan ketakutan politisi Israel kepada warga Palestina.
Cook mengatakan para politisi Israel melihat warga Palestina sebagai 'kuda Trojan' yang mengancam. Penulis yang berdomisili di Nazareth itu mengatakan undang-undang yang membuat warga Palestina menjadi warga kelas dunia atau membuat Israel menjadi negara apartheid bisa menjadi jebakan.
"Ini menunjukan Israel negara demokrasi liberal gaya Barat yang normal dihadapan hukum, tapi hukum berubah sedikit: Israel didirikan sebagai negara apartheid," katanya.
Acara yang digelar oleh Middle East Monitor itu menghadirkan para akademisi dan penulis terkenal dari seluruh dunia. Mereka sepakat kini Israel memiliki karakteristik negara apartheid.
Warga Palestina di Israel semakin diperhatikan sejak Undang-undang Negara Bangsa yang mendeklarasikan Israel sebagai 'tanah air historis orang Yahudi' disahkan pada musim panas tahun lalu. Serta ketika Netanyahu kembali terpilih lagi menjadi perdana menteri. Ia berjanji kembali mencaplok sebagai Tepi Barat.
"Undang-undang Negara Yahudi tidak memiliki visi negara, akan ada aneksaksi dan itu bisa kami lihat dengan apa yang terjadi di lapangan," kata pengacara hak asasi manusia dari Legal Centre for Arab Minority Rights, Suhab Bishara.
Cook mengatakan Zionis Israel berupaya untuk menutup-nutupi perlakukan buruk mereka terhadap warga Palestina dengan bahasa demokrasi liberal. "Undang-undang itu mungkin membantu kami, memperjelas seperti apa sebenarnya negara Israel itu," katanya.
Para pembicara membahas kebijakan apartheid yang mendiskriminasi warga Palestina melalui berbagai aspek mulai dari isu sosial, ekonomi, hukum dan geografi. Dibawah undang-undang 1950 banyak dari warga Palestina yang dinyatakan sebagai 'Present Absentees' yang membuat mereka dapat memiliki tanah dan properti.
Professor dari Ben-Gurion University Oren Yiftachel membandingkan antara apartheid Israel dengan apartheid Afrika Selatan. Pemerintah apartheid Afrika Selatan membuka bantustans yang menjadi wilayah Kulit Hitam. Sementara Undang-undang Negara Bangsa membuka tahapan baru bagi Israel memproses 'pemukiman kolonial, yang mana menurut Yiftachel akan 'memperdalam apartheid'.
"Apartheid, tentu, ilegal, ini kejahatan perang, ini kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Yiftachel.
Ia memetakan proses 'Yahudisasi', dimana pemerintah Israel mengambilalih tanah leluhur orang Palestina. Ia mengatakan Undang-undang Negara Bangsa ini membuat Yahudisasi legal di mata hukum dan menciptakan hierarki warga negara seperti apartheid yang terjadi di Afrika Selatan.
Mazen Masri dari City University mengeksplorasi strategi hukum Israel yang kini tercantum di undang-undang yang mendiskriminasi warga Palestina. Ia mengatakan berbagai strategi hukum yang diskriminatif sudah ada sebelumnya.
"Masalah utama dalam Undang-undang Negara Bangsa sebenarnya bukan pada etnoreligius dan prinsip-prinsip ekslusif yang inheren dan juga bukan pada pengukuhan sifat dan kebijakan kolonial Israel, masalah utamanya adalah ini tindakan yang menunjukan Israel lebih dekat pada apartheid daripada demokrasi," kata Masri.