Rabu 15 Aug 2018 21:01 WIB

Turki Tolak Perang Ekonomi, tapi Enggan Diam Hadapi AS

AS menaikkan bea masuk impor aluminium dan baja dari Turki.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Turis menukarkan uang ke money changer di Istanbul, Turki, Senin (13/8). Merosotnya nilai mata ulang Lira Turki membuat turis asing menikmati lonjakan dolar yang dipegangnya.
Foto: AP
Turis menukarkan uang ke money changer di Istanbul, Turki, Senin (13/8). Merosotnya nilai mata ulang Lira Turki membuat turis asing menikmati lonjakan dolar yang dipegangnya.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Juru bicara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Ibrahim Kalin mengatakan negaranya tidak mendukung perang ekonomi. Pernyataannya menyinggung situasi yang sedang dihadapi Turki dengan Amerika Serikat (AS).

"Turki tidak mendukung perang ekonomi. Tetapi tidak mungkin tetap diam saat diserang," kata Kalin pada Rabu (15/8), dikutip laman Anadolu Agency.

Hubungan antara Turki dan AS menegang setelah Presiden AS Donald Trump memutuskan menaikkan bea masuk atas impor aluminium dan baja dari Turki menjadi 20-50 persen. Hal itu menyebabkan nilai mata uang Turki kolaps dan terpuruk.

Namun, Kalin mengatakan saat ini kondisi ekonomi Turki mulai membaik. "Kami melihat itu (ekonomi) telah mulai membaik kemarin. Ini adalah harapan utama kami bahwa perbaikan ini akan terus berlanjut," ujarnya.

Kalin optimistis perekonomian Turki akan pulih kembali dan menjadi lebih kuat dengan langkah-langkah yang akan ditempuh oleh institusi-institusinya. "Saat ini Turki akan mengubah krisis ini menjadi peluang. Langkah-langkah yang diambil dalam arah ini sudah memberi sinyal bahwa krisis ini akan berubah menjadi peluang," kata Kalin.

Ia mengatakan Erdogan akan menghubungi Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Erodgan diperkirakan akan turut membahas perang dagang yang sedang dihadapi Turki. Merkel, pada Senin (13/8), telah menunjukkan dukungan terhadap Turki. Menurut Merkel, kemakmuran perekonomian Turki melayani kepentingan Jerman.

Memanasnya hubungan Turki dengan AS salah satunya dipicu kasus Andrew Brunson, seorang pastor yang kini ditahan Turki. Ia dituding terlibat gerakan makar dan subversif terhadap pemerintahan Erdogan dua tahun lalu, tepatnya ketika upaya kudeta yang gagal.

AS telah lama menyeru Turki agar melepaskan warganya itu. Namun Turki menolak. Pemerintah AS telah sesumbar bahwa Turki akan menerima lebih banyak tekanan ekonomi jika tetap enggan membebaskan Brunson.

Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan perselisihan negaranya dengan Amerika Serikat (AS) perlu segera diselesaikan melalui dialog. Saat ini kedua negara tengah mengalami krisis diplomatik dan terlibat perang ekonomi. 

"Penting untuk kembali ke dialog untuk menyelesaikan masalah. Ancaman dan tekanan dari AS penuh dengan kekacauan," kata Cavusoglu ketika menggelar konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov pada Selasa (14/8), dikutip laman kantor berita Rusia TASS. 

 

Ia mengatakan, selain Turki, AS sangat berpotensi menjatuhkan sanksi kepada negara-negara Eropa. Menurutnya, tindakan semacam itu tak membuat AS kian disegani. Justru sebaliknya, negara-negara yang dikenakan sanksi tidak akan menaruh hormat kepada Washington. 

 

"Jika AS ingin dihormati di arena global, mereka harus menunjukkan rasa hormat terhadap kepentinyan negara lain," ujar Cavusoglu.

Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan akan memboikot semua produk atau barang elektronik asal AS, termasuk Iphone, ponsel pintar milik perusahaan teknologi raksasa, Apple. Turki pun akan menaikkan bea masuk untuk produk AS lainnya, seperti mobil, minuman beralkohol, dan produk tembakau.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement