REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Perserikatan Bangsa-Bangsa bukanlah pihak yang memimpin operasi militer ke Libya. Demikian kata Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Pasukan Penjaga Perdamaian (PKO), Alain Le Roy, di Jakarta, Kamis (24/3).
"Bukan PBB yang memimpin operasi ke Libya. Operasi itu dilakukan oleh negara anggota PBB dengan melakukan mandat PBB," kata Le Roy dalam wawancara dengan ANTARA di kantor United Nations Information Centers (UNIC).
Mandat tersebut adalah Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973 yang ditetapkan pada Kamis (17/3) untuk menerapkan zona larangan terbang dan memerintahkan semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi warga sipil. Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Italia dan Kanada memutuskan untuk melakukan serangan udara dan laut ke Libya sejak Sabtu (19/3) dini hari dalam operasi yang disebut sebagai "Odyssey Dawn".
"Mandat PBB jelas menyebutkan bahwa PBB memberikan kewenangan kepada negara anggota untuk berpartisipasi dalam operasi tersebut. Beberapa negara anggota memutuskan untuk ikut serta. Jadi, operasi tersebut bukan dipimpin oleh PBB," katanya lagi.
Menurutnya, konsentrasi anggota PBB yang berpartisipasi untuk melaksanakan resolusi tersebut adalah penerapan zona larangan terbang dan menerapkan cara-cara demi melindungi warga sipil. "Untuk memastikan zona larangan terbang misalnya, Anda harus menghancurkan fasilitas pesawat tempur Libya," tambah Le Roy.
Ia tidak dapat berspekulasi apakah PBB akan membuat keputusan baru menyusul resolusi DK PBB 1973. "Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi dalam minggu-minggu mendatang. Semuanya tergantung pada situasi yang terjadi dan saya tidak bisa berspekulasi atas hal itu," ungkapnya.
Pada Ahad (20/3), stasiun televisi pemerintah Libya melaporkan 48 orang tewas. Sebanyak 150 lagi cedera akibat serangan udara pesawat sekutu. Salah satu pemimpin militer Libya, Mussa Ibrahim, mengatakan bahwa rudal pasukan koalisi menyerang Tripoli, Zuwarah, Misrata, Sirte dan Sebha khususnya ke bandar udara di kota-kota itu.