Senin 28 Mar 2011 11:51 WIB

Indonesia Desak Gencatan Senjata di Libya

Marty Natalegawa
Marty Natalegawa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah Indonesia mendesak segera dilakukan gencatan senjata untuk mengakhiri konflik bersenjata dan jatuhnya lebih banyak korban di kalangan masyarakat sipil di Libya. Demikian dinyatakan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa kepada pers sebelum rapat kerja dengan Komisi I DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (28/3).

Menlu Marty menyatakan, perlunya segera dilakukan gencatan senjata karena korban di kalangan masyarakat sipil semakin berjatuhan. "Apalagi dalam waktu delapan hari terakhir ini, kita lihat korban semakin meningkat. Perlu ada gencatan senjata, perlu ada keberadaan PBB di lapangan dan perlu ada proses politik," kata Menlu.

Menlu juga menegaskan, Indonesia menolak tindak kekerasan yang terjadi di Libya. "Jelas dari awal kita menolak kekerasan, baik dilakukan pihak Gaddafi, pihak pemberontak, apakah pihak koalisi. Karena kekerasan itu justru menimbulkan kesengsaraan di kalangan warga sipil," kata Menlu.

Rapat Kerja Komisi I DPR dengan Menteri Luar Negeri membahas berbagai masalah, termasuk Libya dan penanganan WNI di Jepang pasca gempa bumi dan tsunami. Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengambil alih komando operasi militer di Libya dari tentara koalisi, menurut laporan sejumlah media di dunia.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa memberlakukan wilayah larangan terbang terhadap Libya pada 17 Maret, bersamaan dengan perintah "melakukan hal yang diperlukan" guna" melindungi" warga sipil dari serangan pasukan Muammar Gaddafi di sejumlah kota yang dikuasai pemberontak.

Sebanyak 28 utusan negara anggota NATO bertemu pada Minggu untuk menentukan strategi militer terhadap Libya. Amerika Serikat mengalihkan komando pengawasan wilayah larangan terbang terhadap Libya kepada NATO, sementara pasukan koalisi akan tetap melanjutkan upaya perlindungan terhadap warga sipil dari serangan pasukan Gaddafi.

Operasi militer di Libya, yang diberi nama sandi 'Pengembaraan Fajar', sejauh ini telah melibatkan 13 negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris dan Prancis.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement