REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menegaskan, untuk persoalan Libya pemerintah Indonesia telah menyatakan sikap tegas menolak penggunaan kekerasan dan menyerukan secapatnya dilakukan gencatan senjata. Saat rapat kerja dengan Komisi I DPR di Jakarta, Senin, Marty juga mengatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus secepatnya menggelar pasukan perdamaian di Libya untuk menjamin adanya gencatan senjata itu.
"Situasi di Libya dan di Timur Tengah bisa diselesaikan dengan bijak dan tidak menggunakan kekerasan. Ini sudah disampaikan di sidang majelis HAM internasional dalam persidangan Majelis PBB," ujar Marty.
Dikemukakannya bahwa situasi dan kondisi di Libya saat ini sudah semakin memprihatikan, setelah 65 ribu warga sipil Libya turut menjadi korban dengan adanya perpecahan atau munculnya kelompok pro dan kontra pemerintah, serta keterlibatan pasukan asing di sana.
"Kami menilai perlu diberikan humanity koridor, agar warga negara Libya bisa mendapat perlindungan. Kita tidak cukup mendesakkan proses politik, karena itu kita juga mendorong agar dialog politik juga digulirkan," ujar Menlu.
Pada kesempatan itu, Marty juga menjelaskan bahwa Indonesia telah berkirim surat ke PBB pada 24 Februari lalu, dan sampai ke Sekjen PBB 28 Maret. Dari surat itu, PBB akan menindaklanjuti keprihatinan yang disampaikan pemerintah Indonesia.
Menurut Marty, Indonesia di markas PBB sedang memproses surat bersama secara kolektif, yang akan diberikan kepada DK PBB agar digelar gencatan senjata itu.
Sementara itu, Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq mengingatkan bahwa pengerahan pasukan perdamaian PBB di Libya itu harus benar-benar untuk perlindungan warga sipil, bukan malah menimbulkan korban dari warga sipil.
"Kalau Qaddafi tega melakukan tindakan kekerasan terhadap warga sipil, yang kita lihat pasukan koalisi ternyata melakukan hal yang lebih dahsyat dari Qaddafi," ujarnya.
Catatan berikutnya, ujar Mahfudz, harus ada jaminan bahwa pendudukan pasukan koalisi di tanah Libya tidak boleh terjadi.
Sementara anggota Komisi I dari FPAN, M Najib, mengatakan bahwa motivasi terbesar pasukan koalisi menginvasi Libya tidak hanya perkara menyelamatkan warga sipil Libya, tapi juga karena ada faktor ketersediaan energi yang begitu besar di negara itu.