REPUBLIKA.CO.ID,DOHA--Qatar menjadi negara Arab pertama pada Senin yang mengakui pemberontak Libya sebagai satu-satunya wakil rakyat yang sah (legimitasi), dalam sebuah langkah yang mungkin menandai langkah serupa dari negara-negara Teluk lainnya.
Kata keputusan terjadi sehari setelah seorang pejabat senior pemberontak Libya mengatakan Qatar telah setuju untuk memasarkan minyak mentah yang diproduksi dari ladang di Libya timur yang tidak lagi di bawah kontrol pemimpin Muammar Khaddafi.
"Pengakuan ini berasal dari keyakinan bahwa dewan telah pantas, praktis, sebuah perwakilan dari Libya dan orang besahabat (bersaudara)," kata Kementerian Luar Negeri Qatar dalam catatan
diplomatik pada Senin.
Menjelaskan keputusan Qatar, seorang pejabat yang tidak disebutkan namanya yang dikutip oleh kantor berita Qatar mengatakan, dewan pemberontak termasuk wakil dari berbagai daerah dan telah diterima di antara orang Libya. Qatar yang kaya energi adalah negara Arab pertama yang bergabung dalam patroli di zona larangan terbang di atas Libya yang didukung PBB Jumat lalu.
Saluran berita Al Jazeera yang berbasis di Doha telah melindungi pemberontak dan beberapa awaknya yang diculik awal bulan ini dan lain tewas dalam penyergapan. Prancis adalah satu-satunya negara Barat yang mengakui dewan pemberontak sebagai wakil yang sah dari Libya.
Kuwait indikasikan pengakuan
Menteri luar negeri Kuwait mengatakan, pejabat Kuwait telah bertemu dewan perwakilan dan mengusulkan pengakuan resmi mendatang. "Ini dianggap sebagai pengakuan praktis," kata Sheikh
Mohammad al-Sabah kepada wartawan. "Hal ini memerlukan prosedur tentu saja, yang tunduk pada hukum internasional."
Kepala Dewan Kerjasama Teluk (GCC), sebuah blok ekonomi dan politik yang longgar, mengatakan "sistem Libya telah kehilangan legitimasi" dan didukung langkah oleh negara kecil Teluk Arab.
Selain Qatar, GCC mencakup Bahrain, Kuwait, Oman, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Negara-negara Teluk Arab lainnya sebagian besar sedang menunggu untuk melihat hasil di Libya karena pasukan yang dipimpin Barat mmeukul pasukan Qaddafi dan pemberontak maju menuju Tripoli. Uni Emirat Arab menawarkan bantuan kemanusiaan dan mengirim 12 pesawat untuk patroli.
Sekretaris Jenderal GCC Abdulrahman al-Attiyah, yang seorang Qatar, mengatakan posisi itu "sejalan dengan keputusan GCC dengan sikap Qatar mendukung pilihan dari warga Libya dan perlindungan mereka dari kebrutalan terus menerus dari rezim".
Sebelum krisis, Libya memproduksi sekitar 1,6 juta barel minyak per hari, atau hampir dua persen dari produksi dunia. Sebagian besar minyak berada di timur di mana para pemberontak lebih kuat, tapi sejauh ini sanksi dan kurangnya operasi pemasaran telah menghentikan pemberontak menjualnya di luar negeri.
"Kami menghubungi perusahaan minyak Qatar dan untungnya mereka setuju untuk mengambil semua minyak yang kita ingin ekspor dan pasar minyak ini bagi kami," kata Ali Tarhouni, seorang pejabat pemberontak yang bertanggung jawab untuk urusan ekonomi, keuangan dan minyak.