REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Presiden Barack Obama menyatakan Senin malam bahwa campur tangan Amerika Serikat di Libya untuk mencegah pembantaian warga sipil yang akan membuat hati nurani dunia ternodai. Namun dia menolak penargetan Moammar Qaddafi dalam serangan itu. Ia menyebut, penggunaan kekuatan militer untuk menjatuhkan Qaddafi akan menjadi kesalahan mahal seperti perang di Irak.
Obama mengumumkan bahwa NATO akan mengambil alih komando operasi Libya pada Rabu, menjaga janjinya untuk mendapatkan hasil yang cepat. Ia tidak memberikan perkiraankapan konflik akan berakhir dan tidak bersedia memberi rincian tentang biaya walaupun anggota parlemen menuntut jawaban atas hal itu.
Dia menolak untuk label kampanye militer pimpinan AS sebagai "perang". Ia menyebut intervensi di Libya sebagai keharusan untuk menjaga Qaddafi dari membunuh warga sipil yang melawan dia dan untuk mencegah krisis pengungsi yang akan mendorong warga Libya ke Mesir dan Tunisia, dua negara berkembang yang kini juga direpotkan dengan pemberontakan mereka sendiri.
"Untuk menyisihkan tanggung jawab Amerika sebagai pemimpin dan - lebih mendalam - tanggung jawab kita terhadap sesama manusia, berdiam diri artinya akan menjadi pengkhianat bagi kemanusiaan," kata Obama. Dia berbicara dalam pidato televisi di depan audiens anggota militer dan diplomat.
"Beberapa negara mungkin dapat menutup mata terhadap kekejaman di negara-negara lain. Amerika Serikat berbeda," kata Obama. "Dan sebagai presiden, saya menolak untuk menunggu gambar pembantaian dan kuburan massal sebelum mengambil tindakan."
Pidatonya adalah usaha yang paling agresif untuk menjawab pertanyaan dari kubu Republik, partainya sendiri, dan publik AS yang telah letih berperang.
Di AS, publik terpecah menyikapi keterlibatan AS di Libya. Sebuah jajak pendapat Pew pada Senin menemukan bahwa masyarakat tidak berpikir Amerika Serikat dan sekutunya memiliki tujuan yang jelas di Libya - 39 persen mengatakan mereka setuju dan 50 persen mengatakan mereka tidak setuju.