Rabu 30 Mar 2011 09:04 WIB

Kabinet Suriah Mundur, Bashar Al Assad Dijadwalkan Berpidato

Presiden Suriah Bashar al-Assad
Foto: AP/Bassem Tellawi
Presiden Suriah Bashar al-Assad

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS - Presiden Suriah, Bashar Al Assad, dijadwalkan berpidato kepada rakyat negerinya, Rabu (30/1), dalam pidato pertama selama dua pekan unjuk rasa dan satu hari setelah kabinetnya mundur, kata seorang pejabat senior. Hal itu tak pernah terjadi sebelumnya.

Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton mendesak "penerapan pembaruan tepat pada waktunya". Namun para pemimpin Kongres mengesampingkan pembicaraan apa pun mengenai perubahan rezim di Suriah, musuh lama dari sekutu regional Washington, Israel.

"Presiden akan berpidato kepada rakyat besok, Rabu, dari parlemen," kata pejabat tersebut, tanpa memberi perincian lebih lanjut. Berita itu beredar tak lama setelah Perdana Menteri Mohammed Naji Otri mengajukan pengunduran diri pemerintahnya dan diberi tugas sebagai penjabat sampai kabinet baru terbentuk.

Presiden diperkirakan menjelaskan serangkaian pembaruan yang diumumkan pekan lalu, yang muncul sebagai reaksi terhadap dua pekan protes guna menuntut pembaruan dan kebebasan lebih besar di negeri tersebut. Suriah telah diperintah oleh Partai Baath sejak 1963.

Penasehat presiden Buthaina Shaaban telah mengatakan pemerintah memutuskan untuk mencabut keadaan darurat, yang telah diberlakukan sejak partai Baath merebut kekuasaan.

Pemerintah Suriah juga sedang mempelajari liberalisasi peraturan media massa dan partai politik serta tindakan anti-korupsi. Kabinet baru, yang diperkirakan diumumkan akhir pekan ini, akan menghadapi tugas penerapan pembaruan itu.

Perdana Menteri Otri telah membentuk pemerintahnya pada 2003. Pemerintah tersebut telah beberapa kali diubah, yang paling akhir pada Oktober 2010.

Bashar Al-Assad, yang naik jabatan setelah ayahnya Hafez Al-Assad meninggal pada 2000, menghadapi tekanan kuat di dalam negeri, saat protes makin berubah jadi kekerasan.

Pemerintah Suriah telah menuduh kelompok fanatik dan "gerombolan bersenjata" bermaksud menghasut kerusuhan di negeri itu, terutama di Provinsi Daraa di bagian selatan dan kota pelabuhan di bagian utaranya, Latakia. Keduanya telah muncul sebagai titik panas ketidakpuasan.

Unjuk rasa kecil guna menuntut "kebebasan" juga terjadi di ibukota Suriah, Damaskus, awal Maret, tapi aksi itu dengan cepat dipadamkan oleh pasukan keamanan.

Banyak pegiat mengatakan lebih dari 130 orang telah tewas dan banyak orang lagi cedera dalam beberapa bentrokan dengan pasukan keamanan saat berlangsungnya pertemuan terbuka di Daraa dan Latakia. Para pejabat menyebutkan jumlah korban tewas 30.

Washington menyatakan Amerika Serikat menunggu dan melihat apa hasil dari pembaruan yang dijanjikan tersebut. "Kami sedang ... menunggu dan menyaksikan untuk melihat apa yang akan diberikan oleh pemerintah Suriah," kata Menlu Hillary.

"Kami mendukung penerapan pembaruan tepat pada waktunya sehingga memenuhi tuntutan yang diajukan rakyat Suriah kepada pemerintah mereka, seperti penghapusan peraturan keadaan darurat," tambahnya.

sumber : Antara/AFP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement