REPUBLIKA.CO.ID,KAIRO--Dewan Tertinggi Militer yang berkuasa di Mesir telah menetapkan pemilihan presiden pada November atau dua bulan setelah pemilihan anggota parlemen pada September 2011.
Juru bicara Dewan Militer, Jenderal Mamdouh Shahin kepada wartawan di Kairo, Rabu, mengatakan, pemilihan presiden baru pasca-Presiden Hosni Mubarak ini dilakukan atas amanat amendemen konstitusi yang dihasilkan dalam referendum pada 19 Maret lalu.
Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari lalu setelah 18 hari unjuk rasa yang menewaskan lebih dari 650 orang, dan kekuasaan diserahkan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata pimpinan Marsekal Hussein Tantawi.
Menjawab pertanyaan wartawan mengenai pelarangan partai beraliran agama atau sekte yang berlaku pada era rezim Mubarak, Mamdouh menegaskan bahwa hal itu masih berlaku.
Para pengamat menilai, pelarangan partai beraliran agama atau sekte di masa Mubarak itu dimaksudkan untuk mencegah Ikhwanul Muslimin mencapai kekuasaan di negeri berjulukan Seribu Menara tersebut.
Ikhwanul Muslimin, oposisi utama yang menggerakkan revolusi 25 Januari 2011, telah menegaskan akan tetap menjadi organisasi dakwah dan tidak akan menjadi partai politik.
Namun para kader Ihwanul Muslimin telah merencanakan akan membentuk partai baru untuk menampung aspirasi masyarakat.
Sebelumnya, pada awal pekan ini Dewan Militer juga telah menetapkan pemilihan parlemen pada September 2011.
Pemilu anggota parlemen sebelumnya dilakukan pada November tahun lalu yang dimenangkan partai berkuasa, Partai Demokrat Nasional, namun Dewan Militer telah membekukan parlemen tersebut atas desakan dari oposisi.
Dewan juga menjanjikan akan mencabut keadaan darurat --yang diberlakukan sejak Mubarak berkuasa pada 1981-- menjelang pelaksanaan pemilu tersebut.
"Pemilihan parlemen dan presiden tidak akan dilakukan di bawah negara dalam keadaan darurat," kata Jenderal Shahin, namun tidak menyebutkan kapan pencabutan itu dilakukan.
Disebutkan, undang-undang partai politik akan diperbarui untuk mempermudah pembentukan partai politik, namun tetap akan melarang pembentukan partai politik beraliran agama atau sekte tertentu.
Kendati demikian, Jenderal Mamdouh mengonfirmasi bahwa syariah atau hukum Islam masih akan tetap menjadi sumber utama perundang-undangan negeri berpenduduk 80 juta jiwa itu.