REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Pemerintah Libya secara tegas menolak tawaran gencatan senjata yang diberikan oleh pihak pemberontak. Moussa Ibrahim, juru bicara pemerintah Libya mengatakan bahwa pasukan Muamar Gaddafi tidak akan menarik diri dari kota-kota yang mereka kuasai.
“Kami tidak akan meninggalkan kota-kota kami. Kamilah pemerintah, bukan mereka,” ujarnya seperti dikutip BBC pada Sabtu (2/4). Namun walau bagaimanapun, diakuinya, pemerintah siap untuk berunding dan menginginkan perdamaian.
Tidak hanya melakukan penolakan atas tawaran bersyarat tersebut, dia juga menyebut serangan udara koalisi baru-baru ini sebagai ‘kejahatan terhadap perikemanusiaan’ karena ada korban sipil dalam serangan pada Jumat (1/4) lalu.
Serangan oleh pasukan koalisi pemborbardir agresor dan salib kolonial yang dilakukan di dua lokasi sipil, Khums yang berjarak 100 kilometer di timur Tripoli dan Arrubjan, sekitar 190 kilometer di baratdaya ibu kota Libya tersebut menewaskan enam warga sipil. Ibrahim juga menggambarkan para pemberontak sebagai ‘suku, kekerasan, tanpa kepemimpinan terpadu, dan link al-Qaeda’.
Pihak Gaddafi juga saat ini telah meningkatkan pengepungan terhadap pasukan pemberontak dengan intens. Menurut keterangan seorang juru bicara pemberontak yang dikutip BBC, pasukan Gaddafi menyerang kota Misrata yang mereka kuasai dengan tank dan roket. “Mereka (pasukan Gaddafi) telah menembaki kota itu dengan semua macam granat, roket dan bom,” ujarnya mengecam penggunaan kekuatan secara berlebihan tersebut.
Pemimpin oposisi Dewan Transisi Nasional sebelumnya, Jumat (1/4) telah mengumumkan bahwa kelompok pemberontak tersebut telah siap melakukan gencatan senjata, dengan syarat pasukan Gaddafi mengakhiri serangan mereka di kota-kota yang dikuasai oleh pemberontak. “Kami menyetujui gencatan senjata berdasarkan syarat bahwa saudara kami di kota bagian barat memiliki kebebasan berekspresi, dan bahwa pasukan yang mengepung kota-kota tersebut mundur,” kata Mustafa Abdul Jalil di markas besar pemberontak Benghazi. Hingga saat ini, Abdul Jalil masih beranggapan bahwa bagaimanapun revolusi yang dilakukan oleh gerakan pemberontak ini masih bermaksud untuk menjatuhkan rezim yang telah berusia 41 tahun tersebut.
Sementara itu, dilain pihak, menurut Ibrahim, tawaran gencatan senjata adalah ‘tipu muslihat’ dari kaum pemberontak.. ”Mereka tidak menawarkan perdamaian dan hanya membuat permintaan yang tidak mungkin dipenuhi,” ujar Ibrahim.