REPUBLIKA.CO.ID,KAIRO--Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir, Senin (4/4), menyatakan dewan tersebut takkan membiarkan setiap kelompok ekstrem mengendalikan negeri itu.
Dalam pertemuan antara dewan itu dan pemimpin redaksi harian negara dan kantor berita MENA, Wakil Menteri Pertahanan Mohamed el-Molla mengatakan tak satu pun kelompok ekstrem dari luar negeri yang akan dibiarkan datang ke Mesir dan semua tindakan telah dilakukan untuk mencegah kembalinya mereka ke negeri tersebut, kata MENA.
Mohammed el- Molla menggarisbawahi peran Universitas Al Azhar dalam menghadapi gagasan ekstrem dan mengatakan Mesir sebentar lagi akan jadi negara demokratis yang diperintah oleh pemerintah sipil. Ia mengatakan mengatakan mantan presiden Hosni Mubarak tak dipaksa oleh militer untuk meletakkan jabatan.
Anggota dewan Mohamed Assar mengatakan Angkatan Bersenjata pada waktu lalu tidak dan takkan berusaha memerintah negeri itu.
Ia menyatakan kembali pemilihan anggota parlemen akan diselenggarakan pada September untuk memberi partai politik sebanyak mungkin waktu mempersiapkan agenda mereka dan mendapat dukungan dari rakyat.
Angkatan Bersenjata mengambil-alih kekuasaan setelah Mubarak meletakkan jabatan pada 11 Februari. Pada Rabu (30/3), pemerintah sementara Mesir memecat pemimpin redaksi Al Ahram, surat kabar semipemerintah pro-presiden terguling Hosni Mubarak, atas desakan publik.
Osama Soraya, pemred Al Ahram dan pengurus partai yang berkuasa pada masa Mubarak, Partai Demokrat Nasional (NDP), digantikan oleh Abdel Azim hamad, mantan pemimpin redaksi sebuah surat kabar independen dan kolumnis politik Al Ahram.
Selain Hamad, terdapat pula 17 praktisi media yang ditunjuk untuk menggantikan pemimpin enam media pemerintah termasuk kantor berita Mesir, MENA. Perdana Menteri Mesir Essam Sharaf mengatakan penggantian para pemimpin media pemerintah itu merupakan tuntutan publik dan sejalan dengan amanat revolusi 25 Januari.
"Perubahan setruktur media pemerintah tersebut sesuai dengan spirit perubahan dan sebagai respon atas tuntutan publik," kata PM Sharaf kepada wartawan akhir bulan lalu. Menurut PM Sharaf, media massa memainkan peran penting dalam masa transisi untuk memajukan pembangunan, sementara pemerintah berusaha membangun masyarakat yang bebas, demokratis berdasarkan keadilan.
Saat Revolusi 25 Januari, yang menumbangkan presiden Mubarak pada 11 Februari, beberapa kalangan mengecam media propemerintah tersebut karena pemberitaannya dinilai bias dan melecehkan gerakan prodemokrasi.
Sementara itu, Kementerian Penerangan dalam laporannya menyatakan media massa pemerintah yang mencakup surat kabar, majalah, kantor berita, radio dan televisi mempekerjakan lebih dari 50.000 orang.
Media pemerintah tersebut dinilai sebagai pilar utama mendukung 30 tahun rejim Mubarak.
Mantan presiden Mubarak memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan para pemimpin redaksi media pemerintah tersebut.
Media di Mesir didominasi oleh media pemerintah, di samping surat kabar sejumlah partai oposisi seperti Al Wafd dan Al Ahrar, serta beberapa media independen.