Selasa 05 Apr 2011 21:42 WIB

Rusia Pertanyakan Penggunaan Kekerasan di Pantai Gading

REPUBLIKA.CO.ID,MOSKOW--Rusia pada Selasa mempertanyakan penggunaan kekuatan oleh pasukan penjaga perdamaian Perikatan Bangsa-Bangsa di Pantai Gading, setelah pasukan itu dengan dukungan tentara Prancis menyasar senjata berat Laurent Gbagbo dengan helikopter tempur. "Kami mempelajari sisi hukum keadaan itu, karena pasukan perdamaian itu memiliki amanat, yang mewajibkan mereka bersikap netral dan tidak memihak," kata Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov pada jumpa pers dengan rekannya dari Gabon, Paulus Toungui.

Lavrov menyatakan Rusia meminta sidang mendesak di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang masalah itu. "Sejauh ini, kami belum mendengar jawaban sangat jelas atas pertanyaan kami," katanya.

Gbagbo telah menentang tekanan antarbangsa untuk menyerahkan kepresidenan negara kaya coklat itu setelah pemilihan umum pada November, yang hasil sahan Perserkatan Bangsa-Bangsa menunjukkan lawannya, Alassane Ouattara, menang. Sejak itu, lebih dari 1.500 orang tewas dalam kebuntuan tersebut, meskipun jumlah korban sebenarnya mungkin jauh lebih besar.

Sebelumnya, pada Selasa, Kementerian Luar Negeri Rusia menyeru pengahiran pertempuran dan memulai pembicaraan.Prancis, yang berulang kali meminta Gbagbo mundur, pada Selasa menyatakan tidak berperang di Pantai Gading, bekas jajahannya.

Juru bicara pemerintah Prancis mengatakan, "Kami menerapkan keinginan demokrasi rakyat."

Kementerian Luar Negeri Prancis menyatakan pasukan Prancis ikut campur hanya dalam mendukung resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Rusia, yang peka terhadap keterlibatan asing dalam sengketa pemilihan umum, karena kecaman pada catatan demokrasinya, sebelumnya mengancam memveto keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membatalkan rencana kemungkinan campur tangan tentara di Pantai Gading oleh kelompok kawasan Afrika Barat Ecowas, kata diplomat.

Tapi, Rusia memberikan suara bersama 14 anggota lain Dewan Keamanan pada 30 Maret untuk resolusi menghukum pemerintah Gbagbo dan menggemakan seruan badan dunia itu sebelumnya baginya untuk mundur. Dalam pernyataan lebih luas, Lavrov menyatakan semua negara Afrika, termasuk Pantai Gading dan Libya, harus menyelesaikan masalah mereka tanpa campur tangan asing, sementara masyarakat antarbangsa perlu merangsang pembicaraan politik.

Rusia membiarkan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mensahkan campur tangan di Libya lewat abstain dalam pemungutan suara. Lavrov menegaskan kekuatiran tentang batas peran tentara sekutu pimpinan persekutuan pertahanan Atlantik utara NATO itu dan menyatakan Rusia akan mencari batas jelas tentang amanat pasukan luar dalam resolusi pada masa depan.

Pada Senin, helikopter Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Prancis menembaki istana presiden Pantai Gading dan markas orang kuat Laurent Gbagbo di Abidjan setelah ia kalah pemilihan umum pada November, namun menolak mundur. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon menyatakan tujuannya adalah menghentikan senjata berat digunakan terhadap warga dan bukan pernyataan perang terhadap Gbagbo.

Rusia sangat prihatin pada kekerasan di Pantai Gading, kata Lavrov, "Keadaan di sana tidak membaik, tapi tiba-tiba memburuk." Dalam pernyataan terpisah, Moskwa menyeru Gbagbo dan musuhnya, Alassane Ouattara, yang diakui sebagian besar masyarakat dunia mengakui sebagai pemenang pemilihan presiden, menghentikan pertumpahan darah oleh pasukan mereka. "Kami mengarah ke kedua pihak dengan seruan mendesak segera menghentikan pertumpahan darah dan memulai pembicaraan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Alexander Lukashevich.

sumber : antara/reuters/AFP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement