Rabu 13 Apr 2011 08:04 WIB

Langgar HAM, 30 Pejabat Iran Dapat Sanksi UE

Uni Eropa
Uni Eropa

REPUBLIKA.CO.ID, LUKSEMBURG - Pemerintah negara anggota Uni Eropa melaksanakan tindakan penghukuman pada Selasa (12/4) terhadap lebih dari 30 pejabat Iran yang dituduh melakukan pelanggaran HAM di Iran, memperluas sanksi yang berlaku terhadap Teheran. Langkah tersebut termasuk larangan bepergian dan pembekuan aset -- batasan yang telah diberlakukan UE pada orang yang terlibat erat dengan program nuklir Teheran.

Menteri Luar Negeri Inggris William Hague, ketika menghadiri pertemuan para menlu negara anggota UE di Luksemburg pada Selasa, mengatakan catatan HAM Iran "mengejutkan". "Iran tampaknya diyakini bahwa dengan segala perubahan yang terjadi di Timur Tengah, mereka dapat membiarkan situasi HAM yang terjadi dalam negerinya," katanya kepada wartawan.

"Mereka telah memenjara banyak pemimpin oposisi, menahan wartawan lebih banyak dibanding negara lain di dunia, dan menggunakan secara berlebihan hukuman mati," katanya. Dalam laporan tahunan mengenai hak asasi manusia secara global pekan lalu, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan Iran telah mengeksekusi sekitar 312 orang pada 2010, kebanyakan merupakan hasil dari sidang yang dilakukan secara rahasia.

Dalam kebanyakan kasus, orang yang dieksekusi umumnya karena tindak kriminal seperti perdagangan narkoba diduga sebenarnya pembangkang politik, menurut laporan tersebut. Pihak berwenang menahan tahanan politik dan terus menggerebek kaum reformis hak perempuan, juru kampanye untuk hak etnis minoritas, mahasiswa aktivis dan kaum agama minoritas.

Sejumlah sanksi UE kebanyakan terfokus pada ekonomi dan perdagangan, langkah yang bertujuan untuk memaksa Iran agar memperlambat program nuklir mereka, yang Teheran katakan bertujuan damai, tetapi negara Barat mencemaskan tujuan memproduksi senjata. AS sudah mentargetkan pelanggar HAM di Iran, melalui daftar sanksi yang juga termasuk sanksi ekonomi dan langkah lain yang membidik program nuklir mereka.

sumber : Antara/ Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement