Selasa 19 Apr 2011 10:51 WIB

Adam Fadhil, di Antara Manchester United, Libya, dan Moncong Senjata

Rep: abdullah sammy/ Red: Krisman Purwoko
Adam Fadhil
Foto: The Sun
Adam Fadhil

REPUBLIKA.CO.ID,Adam Fadhil (27 tahun) tidak akan melewatkan sedikitpun kesempatan menonton tim idolanya, Manchester United (MU) berlaga. Jika ada sisa uang di kantong, salah satu kursi di Stadion Old Traford pasti dia sambangi guna menyaksikan Wayne Rooney dan kawan-kawan berlaga.

Tapi semua itu terjadi kala dia masih tinggal di kawasan pinggiran kota Manchester, Chorlton-cum-Hardy. Sudah dua tahun terakhir Fadhil, begitu dia akrab disebut, pulang ke kampung halaman di Libya.

Kepulangan yang tidak dibayangkan akan membawanya ke sebuah medan perang. “Saya bergabung dengan pasukan anti-Qaddafi di Ras Lanuf,” aku Fadhil seperti dikutip dari The Sun.

Kini, tidak ada lagi shall bertuliskan Manchester United di lengan tangan. Dia tinggalkan segala kegemaran demi cita-cita untuk menggulingkan sang penguasa. Di tangannya kini hanya ada sebuah senapan AK-47 beserta bekal amunisi. “Hari ini saya menghadapi badai bazooka, ledakan dan tembakan di mana-mana. Sesuatu yang tidak akan anda dapati di Chorlton-cum-Hardy,” ujarnya dengan penuh canda.

Fadhil mengaku, bertarung dengan senjata AK-47 bukanlah impiannya. Dia lebih suka bermimpi mengenakan seragam Setan Merah—julukan MU—dan bertarung di lapangan hijau. “Saya sama seperti bocah di Machester pada umumnya, punya mimpi merumput bersama MU,” ungkapnya.

Mimpi yang kini harus ia kubur karena takdir membawanya ke medan tempur. Medan yang menjadi pertaruhan hidup-mati.Bagi Fadhil, mati menjadi risiko dengan tingkat kemungkinan yang tinggi mengingat keawamannya akan ilmu militer. Dia lebih mengerti cara menendang bola, ketimbang menarik pelatuk senjata. Kondisi yang hampir membuatnya celaka.

“Kemarin saya diinstruksikan instruktur untuk maju ke baris depan. Tapi tiba-tiba pasukan Qaddafi datang dan menembakkan bazooka yang jatuh dekat dengan posisi saya berdiri. Beruntung bazokanya tidak meledak,” kata Fadhil mengkisahkan pengalamannya dalam perang di Ras Lanuf.

Dengan segala kekurangan yang dimiliki, Fadhil tetap menyimpan keyakinan akan berhasilnya perjuangan. Dia merujuk pada karakter yang dimiliki klub sepak bola kebanggan, MU—yang kini dipraktikkan di medan pertempuran.

“Mental”,  itulah kunci bagi Fadhil dalam meladeni serbuan pasukan Qaddafi. Bekal mental yang dicontohnya dari sang pemain idola, Wes Brown.  “Saya tidak takut sedikitpun. Ini adalah hari kelima saya di baris depan. Dan saya masih bertahan,” ujarnya seraya menitip salam kepada kedua orang tua yang masih menetap di Inggris.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement