Kamis 21 Apr 2011 16:03 WIB

Derita Insomia, Pekerja Nuklir Jepang di Ambang Batas Kemampuan Mereka

Pekerja nuklir pascagempa Jepang
Foto: AP/Takeshi Tanigawa
Pekerja nuklir pascagempa Jepang

REPUBLIKA.CO.ID, FUKUSHIMA — Para pekerja yang bertempur melawan krisis nuklir di pembangkit Fukushima Daiichi Jepang kini menderita insomia, dan menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan tekanan darah tinggi. Mereka juga beisiko mengalami depresi serta gangguan jantung demikian menurut seorang dokter yang memeriksa mereka Rabu (20/4) kemarin.

Pra kru telah berjuang membuat pembangkit nuklir kembali dibawah kendali sejak lumpuh pada 11 Maret lalu. "Kondisi di pembangkit tetap berbahaya," ujar pakar epidemiologi, Takeshi Taniagawa, kepada AP. "Saya takut, bila ini terus berlanjut, kita akan menyaksikan risiko masalah kesehatan lebih kompleks," ujarnya.

Tanigawa, Kepala Departemen Kesehtan Umum di Fakultas Kedokteran Universitas Ehima mengatakan ia telah bertemu dan berbicara langsung dengan 80 pekerja selama 4 hari saat diizinkan masuk ke komplek pembangkiti itu saat banyak  pekerja tengah istirahat. Ia mengatakan tidak bisa memeriksa seluruh fisik pekerja karena batasan waktu.

Tokyo Electric Power Co, mengatakan 245 pekerja dari perusahaan tersebut ditugaskan di pembangkit Fukushima Daiichi pada Rabu. Tentara, petugas pemadam kebakaran dan polisi jug berada di lokasi saat itu.

Berpacu dengan waktu

Para pekerja nuklir terus bekerja sepanjang jarum jam berdetak untuk kembali membuat pembangkit stabil. Tanigawa menuturkan mereka sedikit istirahat, tidak mandi, tidak mendapat makanan segar dan berada di bawah ancaman konstan, terpapar radiasi yang tetap tinggi di banyak tempat.

Tanigawa mengatakn kondisi kerja mereka tak sesuai dengan kebutuhn dasar yang dijamin konstitusi Jepang. Selama istirahat di pembangkit Fukushima, mereka kerap tidur di lantai ruang senam, hanya dibungkus selimut dan tak memiliki privasi.

Karena tidur berdekatan, mengorok menjadi sebuah masalah besar. "Normalnya itu terdengar lucu, tapi dalam kasus ini, begitu kebutuhan tidur tidak cukup itu mengarah pada kinerja tak maksimal padahal yang mereka hadapi bukan hal sepele," ujar Tanigawa.

Situasi Kronik

Tanigawa juga menuturkan tekanan mental yang dihadapi pekerja kian berat oleh ketakutan terhadap radiasi, pikiran terhadap orang-orang yang mereka cintai, mengingat banyak dari mereka yang tidak ingin tinggal dalam pembangkit. Faktanya, banyak dari pekerja yang kehilangan rumah atau keluarga ketika tsunami.

 

TEPCO juga menyadari bahwa situasi menjadi sulit ketika krisis kian berlarut-larut. "Kami akan menaikkan kualitas makanan, jam tidur dan libur tugas sehingga kondisi kerja dapat meningkat," ujar perusahaan dalam pernyataan resminya. "Kami ingin terus bekerja untuk melakukan perbaikan situasi," kata perusahaan seraya menekankan sangat mempertimbangkan masukan Tanigawa.

Masalanya mesti kondisi darurat mungkin menjadi pembenaran untuk jadwal kerja yang keras di awal-awal krisis, situasi saat ini menjadi kronis. Tanigawa berkata, "Mereka telah berjuang selama sebulan, namun mereka belum mendapat waktu istirahat sama sekali."

"TEPCO dan pemerintah sama sekali tidak memikirkan kondisi mereka. Mereka harus bekerja baik tapi tidak diberi dukungan maksimal,"ujarnya. Saat musim panas kian mendekat, risiko kesehatan dapat berlipat ganda.

Pekerja kini mendapat menu tiga kali sehari, namun tak ada daging dan sayuran segar. "Mereka mendapat makanan beku yang dihangatkan," ujarnya. Mereka bertugas empat hari dan mendapat dua hari libur. Tapi banyak pekerja yang merasa tidak bisa meninggalkan komplek pembangkit.

Seorang pekerja yang tak ingin disebut namanya, baru-baru ini ditugaskan di bangunan turbin reaktor Unit 2. Ia mengatakan lokasi sudah seperti medan perang.

Bangunan itu normalnya tidak boleh terkontaminasi radiokatif, namun dosimeter langsung bersuara setelah ia dan pekerja memasuki area untuk menyiapkan pemindahan air teradiasi keluar dari bangunan.

"Kami sangat terkejut dengan kadar tinggi radiasi tersebut," ujarnya seraya menambahkan ia bersama kolega begitu takut radiasi dalam air itu berkonsentrasi tinggi.

"Saya bekerja di sana karena saya ingin menyelamatkan kampung halaman saya,"ujar pekerja tersebut. "Kami adalah orang-orang yang selama ini bekerja di pembangkit tersebut. Siapa lagi yang akan melakukan pekerjaan itu jika kami tidak mau?"

sumber : AP/Msnbc.com/Asahi Shimbun
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement