REPUBLIKA.CO.ID,RAMALLAH--Karyawan pemerintah Palestina mengkhawatirkan pemotongan gaji bulan ini, setelah Israel menghentikan penyaluran hasil pajak sebagai reaksi atas kesepakatan perujukan dua faksi yang bersaing dalam gerakan kemerdekaan Palestina. Tapi banyak orang Palestina percaya kesepakatan mengejutkan antara faksi sekuler Fatah, pimpinan Presiden Mahmoud, Abbas dan HAMAS di Jalur Gaza adalah harga yang layak dibayar jika itu membuat terwujudnya negara Palestina merdeka jadi makin dekat.
Israel menolak berhubungan dengan HAMAS, yang tak mengakui negara Yahudi itu. Keduanya nyaris terlibat perang kedua pada April. Pada Ahad (1/5), Israel memblokir penyerahan pajak bea-cukai dan hasil pajak lain yang dikumpulkannya atas nama Pemerintah Otonomi Palestina, yang berada di bawah kendali Abbas dan selama bertahun-tahun telah terlibat dalam proses perdamaian dengan Israel.
Israel menyatakan Tel Aviv takkan membiar hasil pajak mengalir kepada HAMAS. Para pejabat Palestina mengatakan keprihatinan itu tak berdasar, sebab pemerintah baru Palestina akan dibentuk secara independen. Perdana Menteri Salam Fayyad mengatakan Pemerintah Otonomi Palestina takkan bisa membayar gaji kecuali Israel menyalurkan hasil pajak April.
Pemerintah yang tergantung atas bantuan tersebut harus meminjam untuk membayar 155.000 pekerja, kata Fayyad kepada wrtawan, Senin (2/5). Seperti kebanyak karyawan pemerintah, Nidal Arar, pegawai pemerintah yang berusia 47 tahun, memiliki hipotek satu apartemen di ibu kota pemerintahan, Ramallah di Tepi Barat Sungai Jordan.
"Saya sangat khawatir," kata ayah tiga anak itu. "Saya mungkin harus menerima separuh gaji saya. Kami akan menderita. Tapi saya tak keberatan jika pengurangan tersebut demi kebaikan," katanya. "Israel berusaha memeras kami, tapi ini takkan berlangsung lama. Kami telah melewati pengalaman semacam ini sebelumnya," kata Samah Kharouf, seorang pegawai pemerintah dari Nablus, Tepi Barat.