Senin 09 May 2011 10:38 WIB

Menteri Luar Negeri Yeo, 'Korban Terbesar' Pemilu Singapura

George Yeo
Foto: Singapore Buzz Blog
George Yeo

REPUBLIKA.CO.ID, Menteri Luar Negeri Singapura, George Yeo, veteran dua dekade dalam Partai Aksi Rakyat (PAP) adalah korban terbesar dalam pemilu nasional kali ini. Oposisi meraup mayoritas suara, sekaligus pertama kali, dalam satu distrik.

Partai Pekerja, memenangkan lima kursi di distrik Aljunied, menggagalkan peluang PAP yang dipimpin YEO. Partai berkuasa dipimpin Perdana Menteri Lee Hsien Long, yang telah memimpin Singapural lebih dari lima dekade, memenangkan 81 dari 87 kursi dan hanya memperoleh 60,1 persen dari jajak pendapat popularitas pada poling 7 Mei, menurut Departemen Pemilu.

"Ini adalah kampanye besar, kami bertarung keras, kami tak menyesal dan kami menghormati keputusan warga Aljunied," ujar Yeo setelah hasil diumumkan. "Sebuah babak baru telah dibuka dalam sejarah Singapura. Ini adalah gelombang pasang yang tak bisa kami atasi. Tapi itulah hidup."

Pada 2006, tim PAP dipimpin oleh Menteri Luar Negeri George Yeo, masih bisa mempertahankan Aljunied dengan 56.1 persen suara melawan 43,9 persen suara Partai Pekerja. Namun itu adalah perolehan dengan marjin terkecil dalam sejarah pemilu Singapura. Profil pemilih juga mendukung oposisi di mana mereka berasal dari warga kelas menengah yang sangat prihatin dengan tekanan inflasi.

"PAP berhasil meloloskan semua dalam Parlemen tanpa satu pun perlawanan. Banyak warga Singapura yang terkena dampak peningkatan harga merasa terjebak," ujar seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Aljunied selama dua dekade, Audrey, 66 tahun. "Kami butuh pihak oposisi menyuarakan aspirasi kami."

Evaluasi Kebijakan

Hasil ini akan memaksa PAP kembali duduk di meja dan mengevaluasi kebijakan dan sistem pendukung sosial, termasuk untuk perumahan dan melihat bagaimana cara terbaik mengatasi ketidakbahagiaan nyata di lapangan," ujar seorang ekonom Singapura, Chua Hak Bin, dari  Bank of America Merrill Lynch. ."Dalam pandangan saya, pemerintah masih bisa melakukan upaya dermawan mengingat posisi fiskal sangat kuat,"

Yeo, yang telah menjanjikan mendorong reformasi di dalam tubuh PAP,adalah satu dari dua menteri Kabinet yang kehilangan kursi. 'Korban lain' adalah menteri wanita pertama Singapura, Lim Hwee Hua.

Yeo telah menjadi anggota parlemen sejak 1988 dan telah bertugas di berbagai kementrian, termasuk Kementrian Perdagangan dan Industr dan Menteri Informasi dan Seni, demikian menurut situs Kabinet.

"Ini bisa dipandang sikap penolakan terhadap pemerintahan dan kebijakan dan beberapa rasa itu berasal dari dalam," ujar Yeo dalam sebuah wawancara dengan Straits Times, 5 Mei. "Kita harus mendengar lebih keras apa yang rakyat suarakan,"

Demokrasi Mematang

Dalam pemilu Singapura, para kandidat bertarung dalam perolehan bangsal satu kursi atau distrik multikursi yang disebut Grup Perwakilan Konstituensi atau GRC, di mana di distrik tersebut, partai yang memenangkan suara memenangkan semua kursi.

PAP telah kehilangan satu GRC untuk pertama kali dalam pemilu kali ini, menempatkan enam oposisi berhadapan dengan 81 kursi partai berkuasa dalam parlemen.

Sekretaris Jenderal Partai Pekerja (WP), Low Thia Khiang dan pemimpin partai, Sylvia Lim, yang menyerukan suara-suara lebih keras di parlemen serta perumahan terjangkau bagi rakyat, memimpin perolehan di Aljunied, sementara satu anggota lain, Yaw Shin Leon memenangkan suara di Hougang.

"Suara anda memberitahu dunia bahwa anda menginginkan Singapura lebih matang secara demokrasi dan anda ingin memberitahu pemerintah bahwa anda menginginkan pemerintahan yang lebih bertanggung jawab, inklusif, transparan," ujar Low yang telah berada di parlemen sejak 1991.

GDP Singapura bertambah menjadi 14,5 persen tahun lalu, terbesar di Asia ketika sektor manufaktur menanjak dan sebuah resort dengan fasilitas kasino mulai dioperasikan di negara itu oleh Las Vegas Sands Cors. Saat masih menjadi Menteri Perdagangan dan Industri pada 2004, Yeo telah membantu mengakhiri larangan Singapura terhadap Kasino.

'Masih Miskin'

Ironisnya, kesuksesan ekonomi Singapura justru memperlebar jurang ekonomi, dengan rasio rumah tangga jutaan dolar memimpin dunia yang berkontribusi pada peningkatan harga produk konsumen dan properti, meninggalkan beberapa warga di belakanga. Inflasi juga mengalami percepatan dalam dua tahun menjadi 5,5 persen pada Januari.

Koefisien Gini Singapura, istilah ukuran ketidakseimbangan pendapatan melonjak dari semulai 0,444 pada 2000 menjadi 0,48 pada tahun lalu, demikian menurut departemen statistik negara. Pembacaan angka itu, nol berarti keseimbangan pendapatan, sementara satu berarti terjadi ketidakseimbangan secara mutlak.

"Secara umum orang seharusnya merasa kesejahteraan mereka meningkat, namun rakyat masih merasa miskin jika mereka tak mampu membeli rumah," ujar mantan pialang saham, Gabriel Yap, kini kepala eksekutif manajemen investasi GCP Global Pte. “Bahkan meski mereka bisa membeli rumah, secara esensi rakyat masih membutuhkan waktu seumur hidup untuk mencicil kredit. Jadi di mana kualitas hidup?"

sumber : Bloomberg/Wall Street Journal
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement