REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Seorang guru 35 tahun tiba di Heathrow pada 24 Januari 1979, ia berencana untuk menikahi tunangannya, seorang warga Inggris keturunan India. Masuk dalam antrean pemeriksaan imigrasi, dia dipindahkan ke antrean khusus: tes keperawanan.
Dia sempat menolak. Penolakannya menjadi berita utama di Inggris dan India, dan perdebatan segera tentang apakah hal itu (tes keperawanan) adalah praktek imigrasi umum di Inggris.
Aturan imigrasi pada saat itu berarti menyebut seorang wanita datang ke Inggris untuk menikah dengan tunangan tidak membutuhkan visa jika pernikahannya akan diadakan dalam waktu tiga bulan. Namun, internal Departemen Dalam Negeri memberikan memo tambahan bagi petugas imigrasi: tes keperawanan. Tujuannya, adalah untuk membuktikan bahwa dia belum pernah menikah. Jika mereka sudah menikah, maka ia harus mengurus visa.
Ulasan Guardian saat itu menyatakan penumpang meminta dokter wanita namun diberitahu bahwa tidak ada satupun yang bertugas hari itu. Akhirnya ia pergi ke rumah sakit Hillingdon, yang ginekolog nya juga seorang pria. Dia terpaksa melakukan tes itu, "Karena dia takut dia akan dikirim kembali ke India."
Pengungkapan eksklusif The Guardian tentang tes itu menyebabkan cerita di halaman depan setiap surat kabar India terkemuka, dengan insiden ini mengecam sebagai "sebuah penghinaan keterlaluan" dan "sama saja dengan pemerkosaan".
Kabel rahasia dari komisi tinggi Inggris di New Delhi ke Departemen Luar Negeri Inggris mengatakan mereka tidak hanya harus berurusan dengan dampak dari insiden Heathrow di India tetapi juga evaluasi atas kebijakan dan praktik yang selama ini sudah berjalan.
Jawaban dari Pemerintah Inggris tidak cukup untuk mencegah India pergi ke Komisi hak asasi manusia PBB dan mengadukan penggunaan praktik imigrasi yang sepertinya "mencerminkan prasangka dating kembali ke zaman kegelapan". Aturan itu dihapus, setelah memakan "korban" lebih dari 80 imigran wanita yang datang ke Inggris.