REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah disarankan segera mencabut atau setidaknya mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Saran pengurangan subsidi agar alokasi dana untuk keperluan itu bisa dialihkan pada kegiatan pembangunan prioritas seperti perbaikan infrastruktur.
"Pemerintah sebaiknya segera mencabut atau mengurangi subsidi, ini bisa dimulai dengan penghapusan subsidi premium," kata Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, saat memaparkan hasil studi tentang penyesuaian subsidi BBM di Jakarta, Selasa (10/5).
Saat harga minyak dunia tinggi dan cenderung naik seperti sekarang, kata dia, merupakan waktu yang tepat untuk melakukan penyesuaian dengan mencabut atau minimal mengurangi subsidi BBM.
"Momen ini harus dimanfaatkan. Saat harga minyak dunia tinggi, upaya penyesuaian dengan menghapuskan atau mengurangi subsidi akan menjadi konsekuensi logis yang bisa dipahami masyarakat," katanya.
Apalagi, kata dia, fakta menunjukkan bahwa 80 persen bensin bersubsidi dinikmati 50 persen keluarga terkaya. Sementara keluarga miskin dan hampir miskin masing-masing hanya menikmati 16 persen.
"Jadi seharusnya penghapusan atau pengurangan subsidi segera dilakukan atau minimal awal tahun depan meski kami belum tahu apakah kondisinya masih sama seperti sekarang," kata Deni.
Ia juga menyarankan pemerintah menyertai penerapan kebijakan penghapusan/pengurangan subsidi BBM dengan program pemberian kompensasi bagi masyarakat atau merealokasi anggaran subsidi BBM ke pembiayaan pembangunan infrastruktur serta pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan dan program sosial.
Lebih lanjut, Deni menjelaskan, bila kebijakan subsidi BBM tetap dipertahankan, maka peningkatan harga minyak dunia akan memperlebar gap harga BBM bersubsidi dan BBM tak bersubsidi serta perbedaan harga di dalam dan luar negeri.
Peningkatan gap tersebut, menurut dia, mendorong peningkatan konsumsi BBM bersubsidi yang akhirnya membuat realisasi anggaran untuk BBM bersubsidi melampaui jumlah yang ditetapkan.
Ia memperkirakan, dengan memperhitungkan kondisi penurunan produksi minyak dan apresiasi nilai tukar rupiah saat ini, pemberian subsidi BBM akan menambah defisit APBN 2011 sebesar Rp18,8 triliun.
Menurut hasil simulasi koreksi subsidi BBM yang dilakukan Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Pratiwi Kartika, jika pemerintah tetap mempertahankan kebijakan subsidi BBM saat harga minyak dunia tinggi maka anggaran pemerintah akan membengkak.
Dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) 80 dolar AS per barel dan konsumsi BBM sekitar 23,2 juta kiloliter, kebutuhan dana subsidi BBM akan mencapai Rp95 triliun atau 11,5 persen dari belanja pemerintah pusat.
"Dari dana subsidi itu Rp41 triliun diantaranya untuk premium," katanya.
Kartika menjelaskan pula bahwa dengan harga minyak dunia melebihi 100 dolar AS per barel seperti saat ini, biaya subsidi akan melambung dan membuat kondisi APBN rentan.
Tanpa penyesuaian harga BBM premium dari pemerintah, katanya, biaya subsidi bahan bakar jenis ini akan membengkak dari Rp41 triliun (lima persen dari APBN) menjadi Rp69 triliun atau 8,2 persen dari total pengeluaran APBN.
"Dengan kondisi yang seperti ini, pertumbuhan PDB diperkirakan berkurang sebesar 0,2 persen dari target yang ditetapkan APBN 2011. Hal ini disebabkan oleh pengurangan anggaran pos-pos lain dalam APBN untuk memenuhi pembengkakan biaya subsidi BBM," katanya.
Pembengkakan anggaran subsidi, jelas dia, pada akhirnya akan memaksa pemerintah memotong pos anggaran yang lain, salah satunya belanja modal.
"Ini berarti mengurangi pembangunan infrasttruktur. Padahal selama ini kondisi infrastruktur merupakan pengganggu utama iklim bisnis Indonesia," katanya.