REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA - Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon Rabu (11/5) mendesak Suriah menghentikan penangkapan massal pemrotes anti-pemerintah dan memenuhi tuntutan bagi reformasi. Ban juga mengatakan, pekerja kemanusiaan PBB dan pengamat hak asasi manusia harus diizinkan memasuki kota di Suriah selatan, Daraa, yang menjadi tempat lahir protes menentang Presiden Bashar al-Assad, serta kota-kota lain untuk menilai keadaan dan kebutuhan penduduk sipil.
"Saya mendesak Presiden Assad untuk memenuhi seruan rakyat bagi reformasi dan kebebasan dan menghentikan penangkapan massal demonstran damai, serta bekerja sama dengan pengamat hak asasi manusia," kata Ban pada jumpa pers di Jenewa. "Saya kecewa PBB belum diberi akses ke Daraa dan tempat-tempat lain," tambahnya.
Tank-tank militer membom kawasan penduduk di Homs, Rabu, kata seorang aktivis HAM di kota ketiga Suriah itu, yang telah menjadi tempat paling ramai dalam pembangkangan terhadap kekuasaan Assad. Sementara itu, aktivis Ammar Qurabi mengatakan, 13 orang tewas di kota Harra, Suriah selatan, Rabu, akibat tembakan senapan dan tank.
Menurut Qurabi, tank membom empat rumah di kota itu, menewaskan 11 orang. Dua orang lagi -- seorang anak dan seorang perawat -- tewas akibat tembakan senapan, kata Qurabi, yang memimpin Organisasi Nasional bagi HAM di Suriah.
Jumlah kematian sipil dalam demontrasi di Suriah sudah mencapai lebih dari 600 orang sejak 15 Maret, menurut kelompok hak asasi manusia Suriah Insan, yang menambahkan bahwa 8.000 orang kini terdaftar sebagai ditangkap atau hilang. Pemerintah menyalahkan kekerasan itu pada "geng-geng kriminal bersenjata" dan menggambarkan gerakan protes sebagai sebuah persekongkolan.
Suriah sejak pertengahan Maret dilanda protes yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menuntut reformasi besar-besaran di negara yang dikuasai Partai Baath selama hampir 50 tahun itu. Kelompok-kelompok HAM menuduh pasukan keamanan Suriah membunuh ratusan warga sipil dalam penumpasan terhadap demonstrasi damai.
Menurut mereka, ribuan orang Suriah ditangkap dan puluhan orang hilang setelah demonstrasi menuntut kebebasan politik dan diakhirinya korupsi meletus hampir enam pekan lalu.
Pemerintah mengumumkan serangkaian langkah reformasi dalam upaya menenangkan pemrotes, termasuk pembebasan tahanan dan rencana membuat undang-undang baru mengenai media dan perizinan bagi partai politik.
Presiden Bashar al-Assad juga memutuskan mencabut undang-undang darurat, yang disusun pada Desember 1962 dan diberlakukan sejak Partai Baath berkuasa pada Maret 1963. Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Suriah, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.
Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri Jumat (11/2) setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.
Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri. Di Tunisia, demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.
Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.
Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka.