Rabu 25 May 2011 16:48 WIB

Rusia: Pemboman Atas Libya tidak Sah

Serangan Barat di Libya
Serangan Barat di Libya

REPUBLIKA.CO.ID,MOSKOW--Rusia pada Rabu menyebut pemboman terkini atas Tripoli pada Rabu "awal genting" dari resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Libya, yang dapat meningkatkan kekerasan dan menyebabkan lebih banyak penderitaan. "Kami jelas melihat pelanggaran berat lain atas Resolusi 1970 dan 1973 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa," kata pernyataan kementerian luar negeri Rusia.

Rusia menyatakan upaya Barat membenarkan serangan itu dengan menunjuk ancaman terhadap warga oleh penguasa Moamar Gaddafi menafikan bahaya bahwa pemerintah Tripoli bahkan menjadi lebih "ngotot" dalam sikapnya. "Serangan udara tidak menghentikan bentrok tentara di antara pihak Libya dan hanya menciptakan lebih banyak penderitaan di kalangan warga damai," kata kementerian luar negeri.

Pernyataan Rusia itu menambahkan bahwa siasat saat ini NATO sama sekali tidak bergerak mendekati tujuan keseluruhan untuk cepat mengahiri sengketa bersenjata. Pasukan persekutuan pertahanan Atlantik utara NATO melancarkan serangan terbesar pada Selasa malam, yang berpusat pada perumahan pemimpin itu di Bab Aziziya.

Rusia abstain dalam resolusi kedua Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Libya, yang memungkinkan pasukan asing melancarkan serangan udara. Rusia mengatakan sekutu pimpinan Barat melakukan serangan udara melampaui amanat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melindungi warga, dan menentang keras campur tangan asing dalam kemelut lain di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Usaha menyebarkan pengalaman Libya di negara dan kawasan lain sangat berbahaya, baik di Yaman, Suriah maupun Bahrain, kata berita RIA, yang dikelola negara, mengutip pernyataan Lavrov.

Ketua Afrika Bersatu Teodoro Obiang Nguema mengutuk campur tangan tentara asing di Pantai Gading dan Libya, dengan mengatakan bahwa Afrika harus dibolehkan mengelola urusannya. "Afrika tidak memerlukan pengaruh dari luar. Afrika harus mengelola sendiri urusannya," kata Obiang Nguema, yang juga presiden Guinea Khatulistiwa, dalam muktamar antarbangsa di Jenewa pada awal April.

"Saya percaya bahwa masalah di Libya harus diselesaikan dalam kerangka dalam negeri dan bukan melalui campur tangan, yang dapat muncul untuk menyerupai campur tangan kemanusiaan. Kita telah melihat itu di Irak," kata Obiang Nguema.

Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin pada akhir Maret mengutuk resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang memungkinkan tindakan tentara di Libya sebagai "seruan perang salib pada abad pertengahan" dan mengecam Washington untuk kesiapannya memamerkan kekuatan.

Dalam satu dari pernyataan paling kerasnya terhadap Barat dalam beberapa tahun belakangan, orang secara nyata nomor satu di Rusia itu mengatakan tidak ada nalar atau nurani pada tindakan tentara tersebut. "Resolusi Dewan Keamanan itu, tentu saja, cacat dan tidak sah," kata kantor berita Rusia mengutip keterangan Putin kepada pekerja pada kunjungan ke salah satu pabrik peluru kendali di negara tersebut.

Penyelesaian atas pemberontakan berdarah Libya harus didasarkan atas tindakan politik dan bukan hanya kekuatan tentara, kata Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg pada tengah Mei. Pemerintah Norwegia pada pekan ini berjanji mengurangi perannya dalam serangan udara pimpinan NATO di Libya setelah janji tiga bulannya berakhir pada 24 Juni.

sumber : antara/AFP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement