REPUBLIKA.CO.ID, LACASTER - Proporsi penderita cacat kian meningkat. Kini, menurut laporan resmi global pertama mengenai kecacatan fisik, terdapat 1 milyar orang di dunia yang memiliki kekurangan fisik, atau berarti 15 persen populasi dunia.
Namun, terlepas dari gerakan kuat terhadap perlindungan hak kaum cacat dan pegeseran menuju inklusi, orang-orang dengan keterbatasan fisik itu tetap dianggap warga kelas dua, demikian menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia. Satu dari lima orang cacat mengaku mengalami 'kesulitan nyata' dalam kehidupan bermasyarakat.
Di negara berkembang, orang-orang cacat cenderung tiga kali lebih buruk dalam penolakan layanan kesehatan dibanding mereka yang tinggal di negara maju. Anak-anak cacat cenderung tidak menempuh pendidikan dibanding anak-anak lain. Sementara di sektor lapangan pekerjaan, prosentasi karyawan cacat hanya 44 persen, dibanding 75 persen di negara maju.
Halangan yang dihadapi kaum cacat merentang mulai daru stigma, diskriminasi, tak ada perawatan kesehatan layak dan layanan rehabilitasi, sulit mengakses transportasi, bangunan dan informasi publik. Dalam negara berkembang gambaran itu bahkan lebih buruk lagi.
Salah satu penulis laporan "World Report on Disability", Tom Shakespeare, berkata, "Pesan dari laporan itu adalah bahwa tidak ada negara yang betul-betul memperlakukan kaum cacat dengan benar. Italia adala pemimpin dalam hal pendidikan egaliter dan inklusif sekaligus dan tak mengucilkan orang-orang dengan masalah kesehatan mental, namun di area lain tidak.
Di Amerika Serikat (AS) akses memang bisa dibilang fenomenal, karena menyangkut hak-hak sipil. Tapi bila itu menyangkut lapangan pekerjaan dan kemiskinan, sama sekali tidak bagus.
"Orang cacat, atau mereka yang memiliki keterbatasan fisik tidak berarti miskin dan tidak harus dikucilkan, mereka tidak perlu dipisah-pisahkan. Mereka bukan warga kelas dua."
Salah satu masalah yang paling 'menyolok dan mengejutkan' dari laporan, menurut Shakespeare, adalah diskriminasi justru dalam layanan kesehatan, bidang yang paling dibutuhkan kaum cacat.
Direktur umum WHO, Margaret Chan, mengatakan cacat fisik adalah bagian dari kondisi manusiawi. "Setiap dari kita akan mengalami cacat baik secara permanen maupun sementara di satu titik dalam hidup. Kita harus berupaya lebih untuk memecah halangan yang mengotak-kotakkan orang dengan cacat fisik, bahkan di banyak kasus menyudutkan mereka di pinggir masyarakat."
Seorang guru besar di Pusat Riset Cacat di Lancaster University, Eric Emerson, mengatakan temuan laporan mengenai layanan kesehatan itu tidaklah mengejutkan.
"Di Inggris, misal, sudah banyak laporan independen yang mendokumentasikan diskriminasi sistemik dihadapi orang cacat, terutama mereka yang mengalami keterbatasan mental dan dalam menangkap pelajaran. Ia menekankan kesehatan dan kondisi orang cacat bukan semata-mata keterbatasan fisik mereka. "Itu juga hasil bagaimana merek diperlakukan di dalam masyarakat."
Tahun lalu, Survey Kesempatan dalam Hidup menemukan banyak orang cacat di Inggris diisolasi, kekurangan uang dan harus berjuang hanya demi berpartisipasi dalam aktivitas normal sehari-hari. Dengan satu dari lima orang mengatakan mereka menderita dari kegelisahan dan percaya diri sangat rendah karena mereka tak memiliki kemampuan bekerja.
Namun laporan WHO, meski tidak membandingkan langsung dengan negara-negara lain, menyoroti satu praktek terbaik yang layak dijadikan contoh, yakni UU Diskriminasi Kaum Cacat 2005. UU itu mewajibkan lembaga-lembaga publik untuk mempromosikan kesetaraan dan kebijakan penggajian langsung untuk orang-orang cacat.