REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lebanon telah menerima dakwaan pidana terhadap empat anggota kelompok militan Syiah, Hizbullah, yang dituduh membunuh mantan Perdana Menteri Rafiq Hariri dalam serangan bom mobil enam tahun lalu.
Langkah ini merupakan kemajuan signifikan dalam penyelidikan serangan yang menewaskan Hariri dan 21 orang lainnya di pinggiran Beirut pada 14 Februari 2005.
Keamanan langsung diperketat di kota Beirut setelah penyidik dari Pengadilan Tribunal Khusus untuk Libanon yang berbasis Den Haag (STL) mengunjungi kantor JPU, Sayyid Merza, yang kini memiliki keleluasaan untuk membeberkan para tersangka.
Beberapa saat usai pertemuan itu, media-media Lebanon, Kamis (30/6), langsung mempublikasikan nama-nama para terdakwa. Mereka adalah Assad Sabra, Hassan Issa, Salim Ayachhe dan Moustaf Badredine. Semuanya anggota senior Hizbullah.
Putra Rafiq Hariri, Saad Hariri, menyambut dakwaan tersebut dan menyebutnya sebagai "saat bersejarah". Namun Hizbullah tidak langsung merespon dakwaan yang dianggap dapat menjadi ancaman serius bagi klaim kelompok yang menyebut diri sebagai gerakan perlawanan nasionalis ini.
Salah seorang pejabat senior Lebanon mengatakan, pagi ini Hizbullah merasa telah melakukan persiapan yang cukup dalam menghadapi dakwaan tersebut. Bahkan kelompok ini mengatakan akan melakukan perlawanan panjang untuk mendiskreditkan investigasi.
Di tempat lain, anggota blok politik Hariri menyerukan parlemen Lebanon untuk melanjutkan dukungan bagi pengadilan, yang sebagian didanai Lebanon. Sementara Hizbullah dan sekutu-sekutu politiknya—Druze dan Kristen—telah mencoba memaksa pemerintahan Saad Hariri, agar menarik dukungan bagi pengadilan tribunal dan menghentikan pendanaan.
Setelah menyadari bahwa Hariri tidak akan setuju, Hizbullah dan sekutunya keluar dari kabinet pada Januari lalu, yang menyebabkan runtuhnya kesatuan pemerintah. Blok tersebut kini hanya menjadi mayoritas kecil di pemerintahan, yang kemungkinan akan digunakan untuk menggolkan pengadilan.