REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW - Rusia Senin (18/7) mengatakan pihaknya tidak berniat untuk mengakui pemberontak Dewan Transisi Nasional (NTC) sebagai otoritas resmi Libya, tapi bermaksud untuk memandangnya sebagai mitra negosiasi resmi. Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov mengatakan pekan lalu, pengakuan negara-negara Barat dan kekuatan-kekuatan regional menentang pemerintah dan mengorbankan rezim Muamar Gaddafi di Tripoli, itu sama artinya dengan memilih pihak-pihak dalam satu perang sipil.
"Kami tidak berbagi posisi ini untuk satu alasan sederhana - dan ini sekali lagi berarti bahwa mereka yang menyatakan pengakuan (kepada pemberontak) itu bersikap sepenuhnya pada salah satu kekuatan politik di dalam perang sipil," kata Lavrov.
Sebelumnya Rusia menegaskan pihaknya tak punya rencana untuk memasok senjata kepada orang kuat Libya Muammar Gaddafi. "Undang-undang Rusia dan undang-undang negara-negara Uni Eropa melarang setiap pasokan senjata ke wilayah terkena konflik sipil atau perang sipil," kata utusan Rusia di NATO Dmitry Rogozin dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio Ekho Moskvy pada Ahad (18/7).
Menurut Rogozin, apa yang beberapa negara NATO lakukan di Libya adalah tercela dan bertentangan dengan semua resolusi Dewan Keamanan PBB terhadap negara Afrika Utara itu. "Yakni, menjatuhkan senjata-senjata dari udara kepada pemberontak (Libya) dengan helikopter Prancis adalah subyek pembicaraan kami yang sangat kompleks dengan mereka (negara-negara NATO)," kata Rogozin.
Protes-protes di Libya, salah satu pemasok utama minyak dunia, dimulai pada 15 Februari di tengah kekerasan demonstrasi anti-pemerintah di Timur Tengah. Protes-protes massal itu diadakan untuk menentang 40 tahun kekuasaan Gaddafi, yang kemudian diikuti oleh suatu konflik bersenjata antara pemerintah dan pasukan pemberontak.
Pada 17 Maret, Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi yang menetapkan zona larangan terbang di atas Libya dan kemungkinan intervensi militer terbatas asing. Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Kanada, Belgia, Italia, Spanyol, Denmark, dan Norwegia terlibat dalam misi koalisi yang dimulai pada 19 Maret.
Pada 31 Maret, NATO mengambil kendali operasi Libya. Pernyataan itu bertujuan melakukan Operasi Proteksi untuk melindungi warga sipil dan penduduk sipil-daerah di bawah serangan atau ancaman serangan. Misi ini terdiri tiga unsur: embargo senjata, zona larangan terbang dan tindakan untuk melindungi warga sipil dari serangan atau ancaman serangan.
Mandat operasi berakhir pada 27 Juni, namun Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) memperpanjang selama 90 hari, sampai akhir September, pada 1 Juli. Resolusi 1970 Dewan Keamanan PBB disahkan pada Februari, melarang negara-negara menyediakan segala jenis senjata ke Libya.
Resolusi 1973, disahkan sebulan kemudian, memberikan kewenangan kepada negara-negara "untuk mengambil semua langkah yang diperlukan" untuk membantu melindungi warga sipil Libya.