Selasa 26 Jul 2011 15:52 WIB

Bahas Krisis Libya, Utusan PBB Temui Pembenrontak

Seorang pejuang pemberontak tengah mempersiapkan senjatanya sebelum menyerang pasukan Qaddafi di Dafniya, dekat Misrata, Libya.
Foto: AP
Seorang pejuang pemberontak tengah mempersiapkan senjatanya sebelum menyerang pasukan Qaddafi di Dafniya, dekat Misrata, Libya.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK - Utusan khusus PBB untuk Libya Abdel-Al-Khatib Ela bertemu dengan anggota pemberontak pemerintah Libya pada Senin (25/7) guna mencari solusi politik bagi konflik sipil yang telah berlangsung lima bulan di negara Afrika itu.

Bagian layanan pers PBB mengatakan, utusan itu "mengadakan pembicaraan di kota Benghazi ... dalam usahanya untuk melanjutkan pembahasan guna menemukan solusi politik." Khatib diperkirakan akan mengunjungi Tripoli pada Selasa untuk negosiasi lebih lanjut.

Libya telah diguncang oleh pertempuran antara pasukan pro-dan anti-pemerintah sejak pertengahan Februari. Operasi militer internasional dimulai pada 19 Maret setelah resolusi PBB yang kemudian diperpanjang sampai September.

Sementara itu Menteri Luar Negeri Inggris William Hague Senin meminta pemimpin Libya Muamar Gaddafi untuk mundur tetapi mengatakan pemimpin tersebut mungkin diperbolehkan untuk tetap tinggal di negara Afrika Utara itu.

Berbicara menjelang pembicaraan di London dengan mitranya Menteri Luar Negeri Perancis Alain Juppe, Hague mengatakan Inggris akan lebih memilih agar Gaddafi mundur dan menekankan bahwa Prancis dan Inggris "benar-benar bersatu" dalam misi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) saat ini terhadap Gaddafi.

"Apa yang benar-benar jelas, seperti Alain (Juppe) katakan, adalah bahwa apapun yang terjadi, Gaddafi harus meninggalkan kekuasaan," kata Hague.

"Jelasnya, kepergian dia dari Libya akan menjadi cara terbaik yang menunjukkan kepada orang-orang Libya bahwa mereka tidak lagi harus hidup dalam ketakutan terhadap Gaddafi.

"Tetapi seperti yang saya telah jelaskan semua bersama, ini pada akhirnya merupakan tantangan bagi Libya untuk menentukan," tambah Hague.

Juppe mengatakan, pihak sekutu berada dalam "kerja sama sempurna" berdasarkan misi sanksi PBB yang dimulai pada Maret, meskipun Perancis berpendapat misi itu berlangsung terlalu lama.

sumber : Antara/RIA Novosti
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement