Senin 15 Aug 2011 12:13 WIB

Tanpa Dasar, Pakar AS Tuding Muslim Picu Radikalisasi Eropa

Rep: Agung Sasongko/ Red: Didi Purwadi
Bangunan mal perbelanjaan yang dibakar massa saat kerusuhan di Tottenham, London
Foto: Pan-African News Wire File Photos
Bangunan mal perbelanjaan yang dibakar massa saat kerusuhan di Tottenham, London

REPUBLIKA.CO.ID,SOFIA - Populasi Muslim di kota-kota besar Eropa menembus angka 20 persen. Sejumlah kalangan mengkhawatirkan peningkatan signifikan populasi Muslim akan dibarengi dengan peningkatan radikalisasi.

Pakar Keamanan Internasional dan Radikalisasi Islam, Institute Hudson, Washington, Alex Alexiev mengatakan persoalan serius yang dihadapi masyarakat Eropa adalah kehadiran radikalisme di benua biru. Menurutnya, para ahli sepakat kawasan Eropa Barat merupakan lokasi dengan pergerakan radikal Muslim yang tinggi.

“Meski tinggi, kawasan Semenanjung Balkan lebih rentan terhadap radikalisasi. Sebab, pengaruh dari organisasi di Eropa Barat yang dikontrol oleh organisasi radikal sokongan Arab Saudi dan organisasi lain di Mesir seperti Persaudaraan Muslim,” kata dia seperti dikutip dari novinite.com, Senin (15/8).

Alexiev menjelaskan,  dalam sebuah wawancara bersama kantor berita Focus, kondisi itu luput dari perhatian publik lantaran sebagian besar umat Islam berdomisili di Eropa Barat. Sementara, Muslim di daerah pedesaan dan kota kecil sangatlah jarang.

Sebagai contoh saja, Muslim di Marseille mencapai 30 persen dari populasi atau 50 persen dari populasi penduduk berusia 20 tahun. Dapat disimpulkan, kata dia, Marseille tengah mengarah menjadi kota Muslim. “Kondisi serupa terjadi di Amsterdam, Rotterdam, Malmo dan Antwerpen,” kata Alexiev.

Ia juga mencatat bahwa ada sebuah daerah di jantung kota London di mana populasi Muslim di bawah 20 tahun merupakan mayoritas. Fakta ini jelas memperbesar resiko masuknya elemen-elemen radikal.

“Kerusuhan London dalam beberapa hari terakhir melibatkan orang asal Karibia, Afrika-Amerika, dan sejumlah individu dengan jenggot besar dan tidak ada kumis. Sesuatu yang khas dari Islam. Mereka tetap berjanggut, tetapi dalam model kumis pendek,” kata dia.

Menurut Alexiev, komunitas seperti itu gagal beradaptasi dengan budaya Eropa dan enggan berniat untuk berintegrasi. ''Jelas, persoalan itu akan menimbulkan ancaman besar di masa depan,” pungkas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement