Senin 22 Aug 2011 13:41 WIB

Pemberontak Libya Rebut Tripoli, Posisi Qaddafi Masih Misteri

Pemberontak Libya melakukan patroli di  Zawiya pada Sabtu (20/8).
Foto: AP/Giulio Petrocco
Pemberontak Libya melakukan patroli di Zawiya pada Sabtu (20/8).

REPUBLIKA.CO.ID, BENGHAZI/TRIPOLI- Pasukan pemberontak Libya Senin pagi menguasai sebagian besar wilayah ibu kota Tripoli dan menjebloskan dua putra Kolonel Moammar Qaddafi ke dalam tahanan.

Para pemberontak oposisi melambai-lambaikan bendera terlihat larut dalam kemenangan dan memasuki Lapangan Hijau di jantung ibu kota, tempat yang sangat simbolis di mana pendukung Qaddafi sering berunjuk rasa selama pekan terakhir.

Pejabat senior Abdullah Almayhop dari Dewan Transisi Nasional (NTC) mengatakan, bahwa kekuatan oposisi telah menguasai seluruh ibu kota kecuali Al-Aziziyah Bab, kubu pertahanan Qaddafi dan membersihkan sisa-sisa pasukan Gaddafi.

Menghadapi serangan para pemberontak, pasukan yang setia pada Gaddafi tampaknya telah rapuh dan runtuh dengan cepat. Satuan-satuan penjaga yang bertanggung jawab atas keamanan Qaddafi dilaporkan telah menyerah kepada pemberontak.

Sampai saat ini, keberadaan Muammar Qaddafi tetap menjadi misteri. Qaddafi i telah bersumpah untuk bertempur sampai tetes darah terakhir dan tidak meninggalkan Libya.

Pemimpin pemberontak senior Mahmoud Jibril, bagaimanapun, memperingatkan bahwa "pertarungan belum berakhir," sementara mengekspresikan harapan di televisi pemberontak bahwa "dalam beberapa jam kemenangan kita akan lengkap."

Runtuhnya pertahanan Qaddafi terjadi juga, meski pemimpin yang diperangi itu sempat mendesak pengikutnya dua kali pada Ahad untuk mengangkat senjata dan melawan pemberontak.

Ia mengatakan, "kewajiban semua rakyat Libya" untuk mengangkat senjata dan menekankan pada  "hidup atau mati." Juru bicara pemerintah Libya Moussa Ibrahim mengatakan Minggu bahwa sekitar 1.300 orang telah tewas dalam pertempuran di Tripoli pada Ahad dan bahwa NATO harus bertanggung jawab atas pertumpahan darah itu.

Pemerintah siap untuk negosiasi langsung dengan para pemberontak, katanya menambahkan. Sementara itu mendesak NATO untuk membujuk pasukan pemberontak untuk menghentikan serangan di ibu kota.

Tetapi pemberontak mengumumkan bahwa putra tertua Muhammad Qaddafi telah menyerah dan kedua anak Gaddafi Saif al-Islam telah ditangkap dan ditahan di tempat yang aman.

Penangkapan Saif al-Islam juga telah dikonfirmasi oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag, yang mengeluarkan surat perintah penangkapan pada Juni untuk Qaddafi, Saif al-Islam dan kepala intelijen Libya Abdullah al-Senussi atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan .

Pertempuran puncak di Tripoli berubah dramatis di garis depan. Terlihat pemberontak, yang didukung oleh serangan udara NATO, mematahkan kebuntuan di ibu kota dari tiga arah.

Berbicara di Brussels, Sekretaris Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen mengatakan Senin pagi bahwa 42 tahun pemerintahan Qaddafi di Libya "jelas runtuh," sementara mendesak pro-Gaddafi untuk menghentikan perlawanan.

"NATO siap untuk bekerja dengan orang-orang Libya dan dengan Dewan Nasional Transisi, yang memegang tanggung jawab besar," katanya dalam sebuah pernyataan.

"Mereka harus memastikan bahwa transisi yang halus dan inklusif, bahwa negara itu tetap bersatu, dan bahwa masa depan didasarkan pada rekonsiliasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia," tambahnya.

Presiden AS Barack Obama diperkirakan akan membuat pernyataan mengenai situasi Libya segera. Juru bicara Gedung Putih Earnest Josh mengatakan sebelumnya bahwa hari-hari Qaddafi "bisa dihitung."

Sebuah pernyataan dari Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan "sudah jelas dari adegan yang kita saksikan di Tripoli bahwa sudah dekat akhir bagi Qaddafi."

Di Paris, Presiden Prancis Nicolas Sarkozy mengatakan dalam sebuah pernyataan Minggu bahwa Gaddafi harus menyerah dan kemenangan pemberontak "tidak diragukan lagi."

Juga pada Minggu, Presiden Venezuela Hugo Chavez mengecam kekuatan Barat untuk "menghancurkan Tripoli dengan bom," dan mengatakan "mari kita berdoa untuk rakyat Libya."

Libya telah terlibat selama berbulan-bulan dalam kemelut paling mematikan yang melanda Asia Barat dan Afrika Utara setelah letusan diawali di Tunisia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement