REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI - 'Senjata di tangan rakyat!' Begitu slogan di bagian depan bekas markas intelijen di ibukota Libya. Tapi bagi tiga orang yang kini menjaga kompleks tersebut, motto itu baru terwujud setelah Muamar Qaddafi tersingkir.
Ketiga orang itu dengan bangga memperlihatkan senapan serang Kalashnikov mereka, yang mereka peroleh dari gedung di belakang mereka saat ibu kota Libya jatuh ke tangan pasukan Dewan Peralihan Nasional (NTC) pada Agustus.
Slogan tersebut dikumandangkan oleh rezim Qaddafi. Slogan ini diabadikan di dalam Buku Hijaunya --yang menyatakan, "Kekuasaan, kekayaan dan senjata mesti berada di tangan rakyat."
"Qaddafi mengumandangkan itu, tapi ia hanya membagikan senjata kepada mereka yang setia kepadanya," kata Mohammed Abu Abed al-Malek, yang berprofesi sebagai pengemudi, sebagaimana dikutip wartawan AFP Mohamed Hasni.
"Yang pertama kami lakukan saat menguasai kompleks ini ialah memasuki tempat penyimpanan senjata dan membagikannya ke daerah," kenang Mohammed Maadi.
"Kami menyerang kompleks ini hanya dengan bermodalkan tiga senapan, dengan susah-payah kami menguasainya pada 20 Agustus," tambah Issam Miludi, penjaga toko yang dijuluki 'si monster' oleh orang-orang yang dikomandaninya.
Hasilnya ialah Tripoli dipenuhi senjata, yang berpotensi menyimpan masalah bagi penguasa baru. Di penghalang jalan di seluruh kota itu, remaja dan kadang-kala bahkan anak-anak memeriksa lalu lintas yang lewat dengan berbekal pistol di tangan atau senapan serang Kalashnikov yang tergantung di pundak mereka.
Pada malam hari, di kota di tepi Laut Tengah tersebut terdengar suara berondongan senjata otomatis. Mungkin suara tembakan itu berasal dari perayaan kemenangan yang terus berlangsung, atau barangkali dari pertempuran kecil dengan orang yang setia kepada Qaddafi yang masih bertahan.
Pemerintah baru masih memperdebatkan pertanyaan mengenai cara mengumpulkan sejumlah besar senjata yang kini dimiliki rakyat Libya, baik mereka yang memang ikut bertempur atau tidak.
"Ada konsensus mengenai masalah ini," kata pemimpin tim kestabilan Dewan Peralihan Nasional (NTC) Aref An-Nayed, pada suatu taklimat Ahad (4/9). Namun ia mengakui situasinya rumit.
Ia mengatakan tak ada masalah untuk menyeru warga agar menyerahkan senjata mereka secepatnya. Diharapkan warga akan melakukannya saat polisi dan dinas keamanan resmi pulih.
NTC pada Sabtu (3/9) mengumumkan pembentukan dewan keamanan tertinggi yang bertugas melindungi Tripoli. Dewan itu dipimpin oleh Menteri Perminyakan Ali Tarhuni. "Tujuan utamanya ialah melindungi warga, serta bangunan pribadi dan pemerintah, dan menghapuskan sisa kelompok pro-Qaddafi, atau apa yang disebut kolom kelima," kata Tarhuni.
Ia menyatakan satuan revolusioner untuk sementara akan membantu dalam mengamankan jalan di ibu kota Libya, tapi akan meninggalkan kota itu segera setelah pasukan polisi, yang disebut-sebut berjumlah sebanyak 7.000 personel, dapat sepenuhnya mengambil-alih tugas.
Menteri Dalam Negeri Sementara Ahmed Darrad mengatakan kepada AFP pada Jumat (2/9) bahwa para pemimpin baru Libya telah menyeru petempur dari tempat lain di negeri tersebut agar meninggalkan ibu kota dan pulang.
"Tripoli sudah bebas dan setiap orang mesti meninggalkan kota ini dan pulang ke kota asal mereka," katanya. "Sekarang, kaum revolusioner Tripoli dapat melindungi kota mereka sendiri."
Namun pemimpin NTC Mustafa Abdel Jalil, Sabtu, mengatakan tak ada perintah resmi bagi petempur provinsi agar pergi. Tarhuni dan para pejabat lain mengandalkan kesadaran masyarakat untuk memudahkan pengembalian senjata kepada pihak berwenang dan menyeru penduduk agar patuh.
Tapi tak ada upaya khusus pengumpulan senjata yang diumumkan, dan tak semua orang berpendapat itu adalah gagasan yang bagus. Selain itu Miludi "si monster" menyatakan masih ada "kolom kelima" yang harus dicari.