REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Sidang Umum PBB digelar beberapa pekan lagi. Salah satu agenda yang menjadi sorotan utama adalah kampanye Palestina untuk mendapat pengakuan sebagai negara Palestina.
Dalam usaha terkini untuk menghalangi upaya Palestina memenangkan pengakuan PBB atas negara mereka, Amerika Serikat kembali mengajukan proposal perbincangan damai baru dengan Israel dan terus membujuk anggota PBB untuk menghentikan dukungan terhadap kampanye pembentukan negara Palestina.
"Kami masih fokus pada Rencana A," ujar seorang pejabat pemerintahan AS, seperti dikutip New York Times, 4 September lalu.
Maklum saja, Palestina berencana mencari dukungan dan pengakuan atas negara baru mereka dalam pertemuan Sidang Umum PBB pada 20 September mendatang menyusul runtuhnya pembicaraan damai dengan Israel.
AS bahkan telah sesumbah bakal memveto semua permintaan seputar pengakuan negara Palestina di Dewan Keamanan PBB.
Namun, Washington tetap tak memiliki dukungan penuh untuk menghadang pemilihan dalam m Umum untuk meningkatkan status Palestina yang semula hanya 'identitas tanpa hak pilih' menjadi 'negara pengamat tanpa hak pilih'.
Perubahan itu akan membuka jalan bagi rakyat Palestina untuk bergabung dengan puluhan badan dan konvensi PBB.
Status itu, apabila terwujud, juga akan memperkuat kemampuan Palestina untuk mengajukan kasus gugatan terhadap Israel di Pengadilan Kriminal Internasional.
Demi menghentikan langkah Palestina, Washington telah mendistribusikan sebuah proposal--diterbitkan dalam pernyataan dari empat negara,--untuk memperbarui perbincangan damai dengan Israel.
Pemerintah AS kini dilaporkan tengah menerjemahkan prinsip-prinsip yang dijadikan kerangka Obama pada Mei--yakni pengubahan perbatasan Israel pada 1967 dengan pergantian lahan secara mutual kedua belah pihak--menjadi peta jalan konkret untuk perbincangan damai.
Diplomat juga sedang merumuskan bahasa yang akan menjembatani perbedaan keras kepala mengenai bagaimana memperlakukan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan terhadap tuntutan Israel untuk diakui sebagai negara Yahudi.
Pada saat bersamaan, AS juga mencoba mempersempit dukungan bagi kemerdekaan negara Palestina di Sidang Umum.
Bulan lalu, AS telah menerbitkan pesan diplomatik resmi kepada 70 negara yang berisi desakan untuk menentang gerakan unilateral oleh rakyat Palestina di PBB. Alasan pesan itu pernyataan setuju hanya akan membuat kawasan tak stabil dan melemahkan upaya perdamaian.
"Faktnya ada negara-negara yang tak akan menyatakan setuju jika ada alternatif lain," demikian dalih seorang pejabat AS.
Perundingan damai gagal total tahun lalu setelah Israel menolak menghentikan pembangunan permukiman di Tepi Barat.
Ada lebih dari 164 permukiman di Tepi Barat, mencaplok lebih dari 40 persen teritori palestina. Komunitas internasional sepakat menanggap seluruh permukiman tersebut ilegal.
Pilihan Sulit
Meski gigih mendukung Israel, kecemasan juga dirasakan pejabat AS. Langkah veto dinilai bakal menyulut sentimen anti-Arab di wilayah Timur Tengah.
"Tidak cukup jelas bagi saya bagaimana situasi itu dapat dihindari saat ini," ujar mantan negosiator Palestina, Ghaith al-Omari, yang kini menjadi direktur eksekutif Satuan Tugas Amerik bidang Palestina di Washington.
"Veto dari Amerika dapat menyalakan emosi dan memunculkan sentimen kuat anti-AS di garis depan penjuru kawasan tersebut."
Pejabat AS juga khawatir veto AS akan memicu gelombang kemarahan di teritori Palestina dan Arab di saat kawasan itu tengah dilanda gelombang politik.
Namun, mereka juga berpikir memilih tidak memveto juga akan mengasingkan Israel dan pendukung politiknya di AS.
"Jika anda dapat memberi pilihan alternatif di luar sana, maka dengan sekejap anda dapat mengubah situasi dan dinamika," ujar seorang pejabat yang terlibat dalam misi diplomasi tersebut. "Karena itulah kami mencoba sebanyak yang kami mampu."
Beberapa pejabat AS menggambarkan upaya Palestina untuk memperoleh pengakuan PBB patut diwaspadai.
"Argumen paling mendasar adalah langkah itu akan memicu kebangkitan Palestina yang hanya memicu kekerasan baru dan kamilah yang akan disalahkan," ujar mantan duta besar AS untuk Israel, Martin S. Indyk.