REPUBLIKA.CO.ID, BENGHAZI - Para pemimpin sementara di Libya gagal menyepakati kabinet baru, Ahad (18/9), dalam kemunduran paling akhir bagi upaya bagi normalisasi pengoperasian pemerintah yang masih terlibat pertempuran dengan pasukan pro-Muamar Gaddafi.
Kabinet --atau komite eksekutif-- tersebut dibubarkan pada Agustus, setelah terjadinya kekeliruan prosedur dalam penanganan tertembaknya hingga tewas komandan militer Dewan Peralihan Nasional (NTC).
Satu komite pelaksana baru, yang akan mencakup para pejabat yang bertanggung jawab dalam urusan dalam negeri serta pertahanan, mulanya dijadwalkan diangkat oleh Perdana Menteri Mahmoud Jibril pada Ahad.
Tapi pembicaraan itu macet ketika usulnya tak mendapat dukungan penuh dari semua anggota saat ini, demikian laporan Reuters. "Kami menyelenggarakan pertemuan penasehat dengan NTC guna membentuk kabinet baru. Ada sejumlah portofolio yang dibahas," kata Jibril kepada wartawan melalui seorang penerjemah pada taklimat Ahad.
Para pejabat NTC, termasuk kepala komite urusan politik Fathi Baja mengatakan Jibril mengusulkan "pemerintah peralihan" yang akan memerintah sampai setidaknya pembebasan resmi negeri tersebut.
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan pembebasan tapi tampaknya itu adalah syarat bagi tertangkapnya pemimpin terguling Muamar Gaddafi dan kekalahan pasukan yang setia kepadanya, yang masih menguasai tiga kota kecil utama di negeri tersebut.
"Pertemuan itu bertujuan membentuk pemerintah peralihan. (NTC) mengurangi jumlah portofolio dari 36 pada usul awalnya jadi sebanyak 24 tapi belum ada nama yang dikonfirmasi," kata juru bicara NTC Jalal el-Gallal kepada Reuters.
Daftar kementerian yang disetujui belum ada, kendati semua sumber yang dekat dengan perundingan tersebut mengatakan posisi Jibril sendiri ialah berpegang kuat pada pembicaraan itu.
Juga ada ketidaksepakatan mengenai apakah perlu untuk membentuk pemerintah peralihan sebelum proklamasi kemerdekaan. NTC telah menyusun satu peta jalan, yang menetapkan rencana bagi undang-undang dasar baru dan pemilihan umum dalam waktu 20 bulan, yang mesti dimulai segera setelah proklamasi diumumkan.