REPUBLIKA.CO.ID,KAIRO--Polisi Kamis menyerang kantor saluran berita Al Jazeera di Kairo, dan menyita peralatan dalam serangan kedua bulan ini, kata stasiun siaran tersebut.
Markas besar Al Jazeera Mubasher Egypt (Live), yang menyiarkan kejadian-kejadian internasional secara langsung, telah diserang pada awal bulan ini oleh para pejabat keamanan yang mengatakan saluran itu tidak memiliki ijin yang layak.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan tindakan itu merupakan bagian dari tindakan keras yang lebih luas terhadap media.
Pemerintah membantah mereka berupaya menyensor media dan mengatakan saluran itu tidak memiliki dokumen yang diperlukan.
"Kami terkejut ketika beberapa pejabat menyerang markas kami, menolak menunjukkan pada kami identitas dan menganiaya kami, menahan salah seorang wartawan kami," kata Ahmed Zein, yang memimpin Al Jazeera Mubasher di Kairo, pada Reuters.
Ia mengatakan saluran itu telah menjelaskan mereka sudah mengajukan ijin baru berdasar alamat terpisah dari markasbesar Al Jazeera itu. Mereka mengharapkan ijin baru itu akan keluar Ahad, kata Zein.
Sejak peluncurannya pada 1996, Al Jazeera telah menjadi saluran berita satelit paling menonjol di Timur Tengah. Mereka sering menghadapi kesulitan dengan pemerintah-pemerintah di kawasan itu, tempat media secara tradisional diawasi dengan ketat.
Pada masa presiden Hosni Mubarak, Mesir sering mengganggu saluran itu. Mesir dengan singkat menutup operasinya pada Januari lalu, menuduhnya telah menghasut demonstrasi yang menggulingkan Mubarak.
Menteri Informasi Osama Heikal mengatakan pada Reuters pekan lalu, pemerintah tidak memiliki masalah dengan Al Jazeera tapi bahwa Al Jazeera Mubasher mulai beroperasi tanpa ijin yang diperlukan.
"Ini masalah yang menyentuh pada kedaulatan karena mereka beroperasi tanpa dasar hukum," katanya.
Komite untuk Melindungi Wartawan mengatakan dalam sebuah pernyataan pada 13 September, mereka telah diperingatkan oleh langkah-langkah baru yang diambil terhadap wartawan, melukiskan serangan pertama sebagai "tindakan anti-pers".
Pada Juli, kelompok hak asasi mencatat lebih dari enam kasus gangguan pada wartawan dan blogger karena berita atau pendapat yang mengkritik dewan militer yang berkuasa. Jumlah tersebut telah meningkat sejak itu.