REPUBLIKA.CO.ID, PBB, NEW YORK - Dewan Keamanan (DK) PBB, Jumat (21/10) mengesahkan resolusi yang menyeru Presiden Yaman Ali Abdullah agar segera menandatangani kesepakatan yang akan menjadi dasar bagi dia mengundurkan diri.
Namun peraih Hadiah Nobel Perdamaian dari Yaman, Tawakkul Karman, mengeritik dewan tersebut karena tak menentang usul Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) untuk memberi Saleh kekebalan dari hukuman jika ia menandatangani kesepakatan itu.
"Mereka harus membahas pendepakan Saleh dan bagaimana ia harus diserahkan ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebagai penjahat perang," kata Karman di luar gedung Dewan Keamanan.
Resolusi tersebut, yang disepakati dengan suara bulat oleh 15 anggota dewan, "dengan keras mengutuk" serangan maut pemerintah terhadap pengunjuk-rasa dan mendukung rencana GCC, demikian laporan AFP. Berdasarkan rencana itu, Saleh akan mengakhiri 33 tahun kekuasaannya.
Beberapa ratus orang telah tewas sejak protes terhadap Saleh meletus pada Januari.
Dewan Keamanan menyeru Saleh agar menepati janjinya untuk segera menandatangani rencana GCC tersebut dan bagi penyerahan kekuasaan secara damai "tanpa penundaan lagi".
Saleh telah berulangkali menghentikan rencana GCC tersebut, yang akan membuat dia mundur dalam waktu 30 hari setelah ditandatangani, sebagai imbalan bagi kekebalan dari penghukuman.
Karman, yang berada di luar gedung Dewan Keamanan saat pemungutan suara dilakukan, menyerukan tekanan lebih besar internasional atas Saleh, dan mengatakan resolusi tersebut mestinya lebih keras lagi. "Ini tidak cukup," kata wanita pegiat itu kepada wartawan.
"Kami merasa resolusi tersebut tak menyentuh masalah pertanggung- jawaban dan pengampunan," ia menambahkan. Ia juga menolak setiap gagasan bahwa Saleh terlepas dari penghukuman.
"Kami menolak setiap pembunuhan. Kami cuma menginginkan pengadilan yang adil buat dia. Rakyat pelaku revolusi akan menangani Saleh dengan cara damai. Saleh dan anak-anaknya akan menerima pengadilan yang adil," kata Karman. Aksi wanita tersebut mendapat udkungan dari Human Rights Watch.