REPUBLIKA.CO.ID,SANAA--Ribuan orang Yaman mengambil bagian dalam protes Minggu yang menuntut Presiden Ali Abdullah Saleh diadili, sementara kekerasan baru meletus antara suku oposisi dan loyalis pemerintah, sehari setelah 20 orang tewas dalam bentrokan-bentrokan serupa.
Lima dmonstran cedera ketika pawai mereka meninggalkan Lapangan Perubahan, pusat protes anti-Saleh, dan diserang tembakan setelah mencapai sebuah zona yang dikuasai pasukan presiden, kata koresponden AFP.
Di daerah berdekatan, seorang pria tewas dan enam lain cedera, tampaknya akibat peluru nyasar, kata seorang petugas medis. "Tidak ada jaminan, tidak ada kekebalan, Saleh dan para pembantunya harus diadili," teriak demonstran, setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi Jumat yang mendesak presiden Yaman segera menandatangani perjanjian yang ditengahi negara-negara Teluk bagi pengunduran dirinya.
Saleh meminta jaminan AS dan Eropa bagi jadwal pelaksanaan perjanjian yang diusulkan Dewan Kerja Sama Teluk, tampaknya dalam upaya menghindari tekanan internasional. Sabtu, 20 orang tewas dalam bentrokan-bentrokan antara pasukan pendukung dan penentang Saleh yang dipimpin Sheikh Sadeq al-Ahmar di Sanaa utara.
Bentrokan baru meletus Minggu di daerah Hassaba, markas pemimpin oposisi itu, kata penduduk. Demonstrasi di Yaman sejak akhir Januari yang menuntut pengunduran diri Saleh telah menewaskan ratusan orang. Dengan jumlah kematian yang terus meningkat, Saleh, sekutu lama Washington dalam perang melawan Al-Qaida, kehilangan dukungan AS.
Pemerintah AS mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merundingkan pengunduran diri Saleh dan penyerahan kekuasaan sementara, menurut sebuah laporan di New York Times. Para pejabat AS menganggap posisi Saleh tidak bisa lagi dipertahankan karena protes yang meluas dan ia harus meninggalkan kursi presiden, kata laporan itu.
Meski demikian, Washington memperingatkan bahwa jatuhnya Saleh selaku sekutu utama AS dalam perang melawan Al-Qaida akan menimbulkan "ancaman nyata" bagi AS. Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al-Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.
Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaida di Semenanjung Arab (AQAP). Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaida memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.
Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaida AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal. AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.
Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaida. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia. Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini.