Selasa 25 Oct 2011 17:56 WIB

Libya Diprediksi Lebih Cepat Pulih

Rep: Agung Sasongko/ Red: Johar Arif
Ketua NTC Libya, Mustafa Abdel Jalil, melambaikan tangan kepada pendukungnya usai berpidato di Lapangan Syuhada, Tripoli, setelah kejatuhan Muamar Qadafi.
Foto: AP
Ketua NTC Libya, Mustafa Abdel Jalil, melambaikan tangan kepada pendukungnya usai berpidato di Lapangan Syuhada, Tripoli, setelah kejatuhan Muamar Qadafi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Meninggalnya mantan pemimpin Libya menjadi momentum bagi Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya untuk mulai menata kembali negara itu yang porak poranda akibat perang.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerjasama Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi, menilai pemulihan Libya akan lebih cepat ketimbang Mesir, Irak atau Afganistan. Ini disebabkan dua faktor. Pertama, tidak ada warga Libya yang memeluk Syiah, Kristen atau Yahudi. Sekitar 99.9 persen penduduk Libya adalah Islam Sunni.

"Seandainya saja, ada sekian persen warga Libya memeluk Islam Syiah, Kristen atau Yahudi, AS atau kekuatan asing lainnya akan memanfaatkan isu minoritas untuk mengoyang Libya. Akibatnya, usaha NTC bakal terganjal isu ini, " ungkapnya kepada Republika.co.id, Selasa (25/10).

Kedua, tidak ada aktivitas ekstrimis di Libya. Kelompok itu sebelumnya telah dihancurkan Qaddafi. Muhyiddin mengatakan sedari awal NTC menekankan bahwa pemberlakuan hukum Islam tidak dimaksudkan untuk memberi ruang gerak pada kelompok ekstrimis.

Meski demikian, tambah Junaidi, NTC akan mengalami kesulitan, utamanya dalam regenerasi kepemimpinan. Menurutnya, adalah gejala umum bagi negara-negara yang baru saja terbebas dari diktaktor bahwa akan mengalami kesulitan mencari pemimpin lantaran bibit-bibit pemimpin itu sudah lebih dulu dihilangkan.

"Dimana pun, rezim otoriter akan memangkas calon pemimpin yang akan menghambat keberlangsungan kekuasaan. Itulah yang jadi masalah Libya," pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement