REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Meninggalnya mantan pemimpin Libya menjadi momentum bagi Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya untuk mulai menata kembali negara itu yang porak poranda akibat perang.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerjasama Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi, menilai pemulihan Libya akan lebih cepat ketimbang Mesir, Irak atau Afganistan. Ini disebabkan dua faktor. Pertama, tidak ada warga Libya yang memeluk Syiah, Kristen atau Yahudi. Sekitar 99.9 persen penduduk Libya adalah Islam Sunni.
"Seandainya saja, ada sekian persen warga Libya memeluk Islam Syiah, Kristen atau Yahudi, AS atau kekuatan asing lainnya akan memanfaatkan isu minoritas untuk mengoyang Libya. Akibatnya, usaha NTC bakal terganjal isu ini, " ungkapnya kepada Republika.co.id, Selasa (25/10).
Kedua, tidak ada aktivitas ekstrimis di Libya. Kelompok itu sebelumnya telah dihancurkan Qaddafi. Muhyiddin mengatakan sedari awal NTC menekankan bahwa pemberlakuan hukum Islam tidak dimaksudkan untuk memberi ruang gerak pada kelompok ekstrimis.
Meski demikian, tambah Junaidi, NTC akan mengalami kesulitan, utamanya dalam regenerasi kepemimpinan. Menurutnya, adalah gejala umum bagi negara-negara yang baru saja terbebas dari diktaktor bahwa akan mengalami kesulitan mencari pemimpin lantaran bibit-bibit pemimpin itu sudah lebih dulu dihilangkan.
"Dimana pun, rezim otoriter akan memangkas calon pemimpin yang akan menghambat keberlangsungan kekuasaan. Itulah yang jadi masalah Libya," pungkasnya.