REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan PBB mencabut mandat operasi kemananan NATO di Libya yang telah berlangsung tujuh bulan. Operasi ini berujung pada penjatuhan rezim dan kematian Muamar Qaddafi. Mandat DK PBB ini dihentikan Kamis (27/10).
Sementara itu, Dewan Transisi Nasional Libya (NTC) meminta agar pencabutan mandat itu menunggu sampai pihaknya memutuskan apakah membutuhkan bantuan NATO untuk mengamankan perbatasannya.
"Ini akan menutup bab dalam sejarah dan pengalaman PBB yang membanggakan, yang telah bertindak cepat dan efektif dalam mencegah pembantaian massa di Benghazi untuk melindungi warga sipil," kata Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Susan Rice menyambut keputusan ini.
Sebanyak 15 negara anggota DK PBB dengan suara bulat menyetujui resolusi yang akan mengakhiri mandat PBB itu. Mandat itu berisi penetapan zona larangan terbang di atas Libya dan mengizinkan keberadaan pasukan militer, termasuk NATO, untuk menggunakan semua langkah yang dibutuhkan untuk melindungi warga sipil Libya. “Otorisasi PBB atas operasi militer asing di Libya akan berakhir pada pukul 11.59 waktu setempat pada 31 Oktober besok,” ujar resolusi itu.
Sekjen NATO, Anders Fogh Rasmussen menyatakan bahwa aliansi militer di Libya akan mengakhiri masa tugasnya Senin depan. Ia mengatakan dirinya tidak berharap NATO memainkan peran penting pascaperang Libya. "Jika diminta, kami bisa membantu pemerintah Libya yang baru saat transformasi menuju demokrasi, misalnya dengan membantu reformasi pertahanan dan keamanan. Saya tidak akan mengharapkan tugas baru di luar itu."